Learning in Sport

Learning In Sport

Salah satu tanggung jawab utama pelatih dan manager adalah mengajarkan perilaku baru kepada pemain – pemainnya. Hal ini sangat diperlukan terutama pada pelatih atau manager yang melatih atlet yang masih muda. Contohnya, cara memegang dalam tennis, follow through (Shooting) dalam basket. Pemahaman tentang cara belajar dan akuisisi kemampuan adalah hal yang penting jika seseorang akan melatih dan mengajari pemain agar dapat bermain dengan optimal. Pertanyaan seperti berapa lama dan berapa sering sebaiknya berlatih, seberapa efektif pujian secara verbal, dan apakah sebaiknya ada hukuman yang diberikan adalah pertanyaan – pertanyaan yang penting bagi Pelatih. Adalah Psikologi belajar yang menyediakan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan di atas.

Psikologi belajar telah menikmati tradisi yang lama dan kaya di psikologi. Dimulai dengan penemuan Ivan Pavlov yang sangat berpengaruh, setelah itu, Thorndike, dan John Watson, dan dilanjutkan dengan B.F. Skinner. Aliran ini dinamakan Behaviorism, yaitu psikologi seharusnya adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku yang dapat dilihat dan fenomena – fenomena yang tidak dapat dilihat / diobservasi berada di luar psikologi. Behaviorisme telah berjasa dalam penelitian dalam cakupan yang luas tentang cara – cara yang paling efektif untuk belajar. Penelitian – penelitian itu sangat penting kontribusinya bagi psikologi olahraga dan menimbulkan insight terhadap latihan atlet. Sekarang kita lihat bahwa ada 3 tipe belajar dan aplikasinya dalam psikologi belajar:

1. Classical Conditioning

Ivan Pavlov sangatlah sibuk dengan penelitiannya tentang system digestive. Penelitiannya melibatkan seekor anjing yang berhubungan dengan salivasi. Anjing yang dipakai untuk percobaan dioperasi kecil dengan memindahkan saluran air liurnya agak keluar dan diberi tabung, sehingga seberapa banyak air liur yang keluar dapat dihitung. Setelah itu, seorang asisten peneliti akan memberikan makanan pada anjing dan mencatat salivasi anjing tersebut. Ternyata, ketika penelitian berlangsung, sesuatu yang menarik terjadi. Anjing itu mulai bersalivasi sebelum diberi makanan. Pada kenyataannya, anjing itu mulai meneteskan air liur ketika asisten tersebut mendekat atau mendengar suara langkahnya.

Kenapa anjing itu meneteskan air liur sebelum diberi makanan? Pavlov (1927) ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan ini dan mulai menyelidiki kejadian ini. Penelitiannya kemudian menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan classical conditioning. Classical conditioning adalah sebuah bentuk belajar yang involuntary, maksudnya adalah berhubungan dengan respon refleks. Classical conditioning mulai dengan sebuah stimulus (Unconditioned Stimulus/UCS), yang secara otomatis menimbulkan respon reflex yang dinyatakan dengan unconditioned response (UCR). UCR terjadi secara otonom. UCR terjadi karena adanya UCS. Pada penelitian Pavlov, UCSnya adalah makanan anjing, dan UCRnya adalah tetesan air liur. Pada titik ini, sebuah stimulus netral (NSàCS) diberikan sebelum UCS. Setelah beberapa kali UCS dipasangkan dengan NS, maka NS berubah menjadi CS. Ketika NS berubah menjadi CS, maka CS dapat menimbulkan suatu respon yang disebut CR(Conditioned Response).

Pavlov pun melanjutkan penelitiannya. Dia menaruh seekor anjing di dalam sebuah kandang. Kemudian dia memasangkan suara bel(NS) dengan Makanan (UCS) yang menyebabkan salivasi (UCR). Setelah beberapa kali NS dan UCS dipasangkan, maka NS pun berubah menjadi CS, sehingga hanya dengan suara bel (CS) saja, maka terjadilah salivasi (CR). Hal penting yang harus diingat adalah hubungan waktu antara CS dan UCS sangatlah vital. CS atau NS harus dimunculkan beberapa detik sebelum UCS. Jika yang diberikan adalah makanannya, maka anjing itu akan meneteskan air liur terlebih dahulu dan suara bel itu tidak akan menimbulkan suatu respon.

Setelah kita memahami classical conditioning, kita sekarang dapat melihat bagaimana classical conditioning beroperasi di jalur olahraga. Mari kita lihat Billy, seorang anak berusia 4 tahun. Billy adalah anak yang pemalu dan introvert. Billy sangat tidak suka meninggalkan rumah dan ada kekhawatiran atau kecemasan ketika meninggalkan rumah, dan hasilnya, Billy hanya mempunyai beberapa teman dan kurang dapat menyesuaikan diri di lingkungan sosial. Dengan harapan untuk meningkatkan social skillnya, orang tua Billy menempatkan dia pada sebuah tim tee-ball. Seluruh anggota dan pelatih di sana adalah orang asing bagi Billy. Sebagai hasilnya, pergi berlatih menimbulkan respon yaitu kecemasan pada Billy. Setiap sebelum berlatih, Ibu Billy selalu memberinya sarung baseball dan topi. Pada awalnya, sarung dan topi Billy tidak menimbulkan respon apapun. Walaupun begitu, setelah beberapa lama, hanya dengan melihat sarung baseball atau topi saja sudah membuat Billy merasa cemas. Dari sini bisa kita lihat bahwa UCSnya adalah pergi berlatih yang akhirnya menghasilkan rasa cemas(UCR), NS yang nantinya akan menjadi CS adalah sarung dan topi. Karena UCS terus dipasangkan dengan NS, maka NS pun menjadi CS, Jadi hanya dengan melihat topi atau sarung saja, Billy sudah cemas (CR).

Prinsip – prinsip classical conditioning:

Extinction

Mari kita lihat kembali penelitian Pavlov. Setelah beberapa kalo pemasangan bel dengan makanan, anjing tersebut mulai meneteskan air liur hanya dengan mendengar suara bel. Kita dapat berimajinasi bahwa Pavlov dan asistennya sama – sama senang dan kagum dengan penemuan ini. Kemudian mereka mungkin menunjukkan hal tersebut kepada teman atau saudara – saudara mereka. Ternyata, setelah beberapa kali diberikan suara bel tetapi setelah itu tidak diberikan makanan, maka anjing tersebut tidak meneteskan air liur lagi.

Untuk mengilustrasikan bagaimana extinction terjadi dalam dunia olahraga, mari kita lihat Billy lagi. Seperti yang kita tahu, hanya dengan melihat sarung dan topi saja, Billy sudah cemas. Tetapi apabila, pada latihan – latihan berikutnya, Billy tidak mengalami situasi yang membuat dia cemas, maka CS Billy terhadap sarung dan topi akan hilang.

Generalization

Kembali lagi ke eksperimen Pavlov dengan bel. Diasumsikan bahwa conditioning terhadap anjing itu adalah dengan suara garpu tala. Ketika Garpu tala telah menjadi CS, maka hanya dengan mendengar suara garpu tala saja, anjing tersebut telah meneteskan air liur. Bagaimana ketika Pavlov mengganti suara garpu tala itu tetapi berbeda nada? Apakah anjing itu akan tetap meneteskan air liur atau akan berhenti. Jawabannya, apabila suara baru yang diberikan itu mirip dengan suara yang pertama (CS), maka kemungkinan besar anjing itu akan terus melakukan CR (Salivasi). Hal inilah yang disebut dengan generalisasi, yaitu munculnya CR melalui presentasi dari sebuah CS yang mirip dengan CS yang asli/pertama.

Discrimination

Sedangkan apabila suara garpu tala itu diganti dengan suara yang tidak mirip, maka kemunculan CR akan terhambat atau hilang. Hal ini dimanakan diskriminasi, yaitu aplikasi dari sebuah CS baru yang tidak cukup mirip dari CS yang pertama/asli dan hasilnya adalah kegagalan dalam menimbulkan CR.

Melihat konsep ini, maka kita kembali ke kasus Billy, apabila Billy diberikan bola basket, maka Billy tidak akan membentuk perasaan cemas. Hal ini disebut dengan diskriminasi.

2. Operant Conditioning

Ketika classical conditioning melibatkan perilaku otonom, Perilaku yang disadari dipelajari melalui operant conditioning (Mazur, 1994). Operant conditioning dapat didefinisikan sebagai strategi penghadiran reinforcement dan hukuman dalam rangka untuk meningkatkan perilaku sukarela bersamaan dengan mengurangi perilaku sukarela yang tidak diinginkan.

Thorndike and the Law of Effect

Sekitar 1900, Thorndike mulai meneliti tentang perilaku sukarela dari binatang. Penelitian Thorndike menggunakan kucing. Kucing ini ditempatkan pada sebuah kotak dan di luar kotak diberi ikan. Ketika berusaha keluar, Kucing itu melakukan berbagai cara, sampai pada akhirnya kucing itu menginjak pedal dan akhirnya pintu itu terbuka dan kucing itu mendapatkan ikan. Kemudian, Kucing itu ditaruh lagi di dalam kotak sampai pada akhirnya dapat keluar lagi dan mendapat ikan. Prosedur ini diulang beberapa kali. Setelah beberapa kali percobaan, kucing itu mulai menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk menginjak pedal. Setelah kurang lebih 25 kali percobaan, kucing langsung menuju ke pedal dalam hitungan detik.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Throndike (1905) merumuskan law of effect. Law of effect menyatakan bahwa semua perilaku yang diikuti dengan konsekuensi positif akan cenderung diulang atau dilakukan lagi di masa depan. Begitu pula sebaliknya, ketika sebuah perilaku diikuti dengan konsekuensi positif , maka perilaku tersebut akan cenderung tidak diulang di masa depan. Dalam law of effect yang perlu diperhatikan adalah perilaku itu cenderung untuk diulang atau tidak diulang dan bukan pasti muncul atau hilang. Seperti kucing Thorndike, perilakunya membuka kotak untuk mendapatkan makanan, sehingga kucing tersebut seringkali menekan pedal berulang – ulang untuk mendapatkan reward.

Dasar dari Law of effect adalah sebagai berikut:

RV

C+

C?

C-

Ketika seseorang melakukan Voluntary Response yang ditandai dengan RV. Contohnya misalkan seorang pemain bola voli yang membuat sedikit perubahan dengan cara servenya. Respon ini dapat merujuk ke satu dari 3 konsekuensi. Ketika dengan cara serve yang baru ini, dia mendapatkan poin, maka respon ini mendapatkan konsekuensi positif (C+), sedangkan apabila hasilnya hanya rata – rata(average),ada kemungkinan respon ini akan dirubah atau tetap dipertahankan (C?). Sedangkan bila hasil dari serve yang dilakukan buruk(C-), maka bisa jadi, respon ini tidak akan diulang dan akan berubah.

B.F Skinner

Dari tahun 1930 sampai 1980, penelitian B.F. Skinner sangatlah membantu kita memahami perilaku sukarela dan law of effect (Mazur, 1994). Skinner melakukan sebuah penelitian di laboratorium Unversitas Harvard dan membuat beberapa buku dengan topik operant conditioning. Dengan Skinner yang memegang kendali, Dia dan beberapa psikolog yang berorientasi behavioristik melakukan banyak penelitian pada masa ini.

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> SHAPE \* MERGEFORMAT <![endif]–>

Negative

Positive

Positive Reinforcement

Goal:

Increase Behavior

Response Cost

Goal:

Decrease Behavior

Punishment

Goal:

Decrease Behavior

Negative Reinforcement

Goal:

Increase Behavior

Apply

Remove

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> <![endif]–>

Mengaplikasikan stimulus yang positif, disebut dengan positive reinforcement, akan meningkatkan perilaku yang diberi reinforcement. Dalam olahraga, ada berbagai macam contoh positive reinforcement. Pujian, trophy, harga diri, kenaikan gaji, kontrak, dll semuanya adalah reinforcement positif yang didesain untuk meningkatkan perilaku positif atlet.

Ketika seseorang mengaplikasikan stimulus negative terhadap seseorang, dia melakukan Punishment, yang mempunyai goal untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. Seperti positive reinforcement, contoh punishment dapat ditemukan dalam dunia olahraga. Larangan bermain, dibangkucadangkan, dimarahi adalah metode – metode yang biasanya dilakukan pelatih untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku negative atau perilaku yang bermasalah dari atletnya.

Response cost adalah penghilangan stimulus positif. Presedur ini mempunyai efek mengurangi perilaku orang yang diberi stimulus. Contohnya seorang atlet professional yang terkenal diberi hak khusus untuk memiliki satu kamar sendiri. Walaupun begitu, atlet ini baru – baru ini menunjukkan berbagai macam perilaku negative yang menurunkan kinerja tim. Misalkan, atlet ini telah mengganggu rekan setimnya, dan menunjukkan sikap apatis. Untuk menghentikan perilaku atlet ini, pelatih kemudian memutuskan untuk menghilangkan hak khususnya untuk mendapatkan kamar sendiri dengan harapan untuk mengurangi perilaku buruk yang dilakukannya.

Pada akhirnya, seorang pelatih dapat mencoba untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan dengan menghilangkan stimulus negatif, dan proses ini disebut negative reinforcement. Lanjut dengan contoh kita yang tadi, mari sekarang kita asumsikan bahwa karena masalah perilakunya, atlet itu diberi hukuman. Hukuman itu mempunyai efek untuk menghentikan perilaku negatifnya. Kemudian, atlet itu juga mulai menunjukkan kemajuan dalam berperilaku positif, sehingga pelatih mencabut hukumannya, dengan pemahaman bahwa hukuman itu akan dicabut selama atlet tersebut tetap menunjukkan perilaku positif. Jadi pelatih menghilangkan stimulus negatif untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan.

Principles of Operant Conditioning

Dengan pemahaman tentang dasar – dasar dari operant conditioning, Sekarang kita akan melihat beberapa prinsip dari tipe belajar dan aplikasinya dalam olahraga.

Apparatus

Apparatus biasanya digunakan dalam penelitian operant. Alat ini, sering disebut dengan Skinner Box, yaitu kotak yang berukuran kira – kira 15 X 10 inci. Setiap Skinner box berisi tempat makan yang tersambung dengan makanan yang dihubungkan oleh sebuah tabung. Kotak ini juga mengandung tombol yang dilekatkan di tembok. Ketika tombol ini dipencet, beberapa potong makanan secara otomatis akan meluncur melewati tabung dan mengisi tempat makanan. Makanan ini adalah sebagai reward ketika melakukan perilaku menekan tombol dan hal ini digunakan untuk meneliti reinforcement. Lantai pada kotak itu juga dapat dialiri listrik dengan tegangan kecil untuk melihat efek dari punishment.

Shaping

Jika seorang peneliti menaruh seekor tikus ke dalam skinner box, berapa lama yang dibutuhkan agar tikus itu mulai menunjukkan target perilaku, yaitu menekan tombol? Apabila kita melihat kembali ke teori Thorndike (1905) law of effect. Kita mungkin memprediksi bahwa, tikus itu akan menekan tombol seperti kucing yang membuka kandang. Ternyata hasilnya tidak seperti itu. Tikus itu akan jarang sekali menekan tombol. Terus, bagaimana kita dapat melatih binatang agar dapat melakukan perilaku yang diinginkan? Jawabnya adalah menggunakan shaping. Shaping melibatkan mereinforce perilaku berturut – turut terhadap perilaku yang ingin dicapai. (Mazur, 1994; Schwartz, 1989; Warren, 1983). Dalam prosedur ini, peneliti mereinforce perilaku tikus yang berturut – turut dan mendekati target perilaku. Dengan begitu, peneliti harus mulai memberi reinforcement ketika tikus itu melihat tombol tersebut. Apabila hanya perilaku ini saja yang diinginkan, maka peneliti hanya akan melatih tikus itu untuk melihat ke tombol saja. Padahal target perilaku yang diinginkan adalah menekan tombol. Jadi yang dilakukan peneliti adalah berhenti sejenak dan menunggu hingga tikus semakin mendekat ke tombol dan kemudian memberi reinforcement lagi, sampai pada akhirnya tikus itu menekan tombol tersebut. Setelah tikus itu dapat menekan tombol, maka telah terbentuk suatu pola dan akhirnya tikus itu akan terus menekan tombol itu untuk mendapatkan reward.

Contoh shaping dalam olahraga adalah sebagai berikut. Seorang pelatih baseball, Simon mempunyai seorang pemain (Kurt) yang takut akan bola. Simon ingin mengajarkan pada Kurt agar dia dapat menangkap bola yang dipukul dengan baik. Simon menyadari bahwa bila dia hanya memberikan reward terhadap perilaku menangkap bola saja, maka dia akan mengalami kesulitan untuk membentuk Kurt. Akhirnya, pertama – tama Simon mereinforce Kurt ketika dapat menangkap bola yang bergulir di tanah dan kemudian mereinforce Kurt lagi ketika menangkap bola bergulir yang agak cepat. Selanjutnya, Simon mereinforce Kurt ketika menangkap bola yang dilempar, dan pada akhirnya mereinforce ketika Kurt menangkap bola yang dipukul. Dengan caraini, Kurt secara perlahan – lahan tapi stabil akan dapat memenuhi perilaku yang diinginkan atau target perilaku.

Extinction

Mari kita kembali ke skinner box lagi. Bayangkan seekor tikus yang telah berhasil dibentuk untuk menekan tombol. Apa yang akan terjadi bila peneliti kehabisan makanan dan sebagai hasilnya tikus itu menekan tombol dan tidak mendapatkan reward? Yang sering terjadi adalah tikus itu terus menekan tombol beberapa kali kemudian berhenti. Jadi tikus itu akan menghentikan perilakunya apabila dia tidak mendapatkan reward lagi. Hal ini disebut extinction. Definisi extinction adalah penghilangan respon karena dihilangkannya reward. Untuk tetap mempertahankan perilaku, pelatih harus tetap memberikan reward terhadap perilaku yang ditargetkan. Seperti kasus Kurt tadi, apabila Simon berhenti memberikan reinforcement terhadap Kurt ketika dia dapat menangkap bola yang dipukul, maka Kurt bisa jadi akan berhenti menangkap bola.

Schedules of Reinforcement

Berikut ini adalah beberapa jenis penjadwalan:

Immediate VS Delayed Reinforcement

Banyak penelitian (Schwartz, 1989) mengindikasikan bahwa immediate reinforcement (reinforcement yang diberikan begitu perilaku yang diharapkan muncul) lebih efektif untuk mengajarkan suatu perilaku daripada delayed reinforcement (reinforcement yang diberikan setelah beberapa waktu).

Contohnya dalam skinner box, bila reward baru diberikan setelah 30 detik, maka tikus itu tidak akan memunculkan perilaku yang diharapkan dengan begitu sering. Begitu juga pada kasus Kurt, apabila Simon si pelatih memberi jarak antara pemberian reinforcement kepada Kurt, maka Kurt juga akan lebih susah untuk memunculkan perilaku yang diharapkan.

Continuous VS Partial Reinforcement

Penelitian lain mempelajari tentang konsekuensi reinforcement secara terus menerus dan terpisah. Continuous Reinforcement melibatkan pemberian reward setiap kali perilaku yang diharapkan muncul. Contohnya adalah tikus yang setiap kali menekan tombol akan mendapatkan makanan. Partial Reinforcement melibatkan pemberian reward hanya pada setelah beberapa kali percobaan. Memberi anak kecil reward setiap 3 kali dia melakukan perilaku yang benar adalah contoh dari partial reinforcement.

Penelitian telah menemukan bahwa perilaku yang diberi Partial schedules lebih sulit untuk dihilangkan daripada yang diberi continuous schedules (Mazur, 1994; Warren, 1983). Misalkan ada 2 orang anak pemain bola yang diajarkan untuk melakukan passing dengan tepat dengan menggunakan verbal reinforcement (pujian). Satu anak dilatih dengan menggunakan continuous reinforcement dan anak yang satu dilatih dengan menggunakan partial reinforcement, yaitu setiap 5 kali anak tersebut melakukan dengan benar, baru diberi pujian. Apabila pelatih yang bertanggung jawab untuk memberikan reinforcement tidak masuk/absent, maka anak yang diberi continuous reinforcement akan dengan mudah tidak melakukan cara passing yang benar lagi, sedangkan pada anak yang diberi partial reinforcement, dia akan terus melakukan passing yang benar tersebut. Anak ini menyadari bahwa dia tidak mendapatkan reinforcement setiap kali melakukan dengan benar dan pada akhirnya tidak mengharapkan reinforcement yang konstan.

Ratio Schedules of Reinforcement

Ratio reinforcement berbicara tentang jumlah respon yang diperlukan untuk mendapatkan reward. Fixed Ratio terjadi ketika reward diberikan setiap berapa kali perilaku yang diinginkan muncul (dalam jumlah yang tetap). Contohnya anak yang berlatih passing tadi diberikan reward setiap kali dia dapat melakukan passing yang benar 5 kali.

Variable Ratio juga memberikan reward, tetapi pemberian rewardnya dengan melihat rata – rata dari jumlah respon yang diinginkan. Contohnya VR5 akan memberikan respon setiap kali subjek melakukan rata – rata 5 kali respon yang diinginkan.Walaupun begitu, subjek mungkin akan diberi reward setelah respon ketiga, ketujuh, keenam, keempat atau sebagainya. Seperti tikus yang akan mendapatkan makanan ketika dia telah melakukan respon dengan benar rata – rata 5 kali.

Superstition

Di awal telah disebutkan oleh Thorndike (1905) tentang law of effect, di mana perilaku yang diikuti dengan konsekuensi positif mempunyai kecenderungan untuk diulang. Catat bahwa proposisi ini menyatakan bahwa konsekuensi positif mengikuti perilaku. Jadi konsekuensi ini tidak berdasarkan perilaku. Jadi selama konsekuensi positif mengikuti perilaku, perilaku akan bertambah, walaupun bila perilaku itu sendiri tidak menyebabkan konsekuensi positif secara langsung. Hal ini memainkan peran vital dalam menjelaskan perilaku tahayul. Hal yang biasa terjadi di olahraga.

Apa yang kira – kira terjadi ketika seekor burung dara ditempatkan di skinner box dan makanan burung diberikan setiap 15 detik sekali. Jadi, tanpa melihat perilaku apa yang ditampilkan oleh burung tersebut, setiap 15 detik burung itu akan mendapat reward. Tipe reinforcement ini disebut noncontingent reinforcement, yaitu reinforcement tidak tergantung pada perilaku spesifik apapun. Sebaliknya, contingent reinforcement muncul ketika pemberian reward didasarkan pada perilaku yang spesifik. Contohnya adalah tikus yang akan diberi reward ketika memencet tombol. Ternyata pada saat skinner melakukan eksperimen, terjadilah sesuatu pada burung dara. Setiap sebelum pemberian makanan, skinner melihat bahwa burung tersebut menunjukkan perilaku yang spesifik. Ada yang berkicau, ada yang berputar – putar, dll. Kenapa burung ini melakukan hal – hal tersebut? Ternyata hal ini disebabkan karena burung – burung tersebut percaya bahwa reward yang diberikan adalah berdasarkan pada perilaku yang dilakukannya. Sebagai hasilnya, burung – burung itu membentuk suatu belief bahwa reward yang didapat berdasarkan pada perilaku yang spesifik. Padahal reward yang diberikan bersifat noncontingency. Hal inilah yang disebut dengan Superstition.

Dalam dunia olahraga, contoh perilaku tahayul sangatlah banyak. Atlet, pelatih, ataupun penonton mencapatkan konsekuensi positif setelah melakukan suatu perilaku dan mereka cenderung mengulang perilaku tersebut (Neil, 1982) dan peningkatan dalam perilaku tahayul sepertinya berhubungan dengan peningkatan keterlibatan dalam olahraga(Neil, Anderson, & Sheppard, 1981). Contohnya adalah tentang nomor punggung. Rickey Henderson, seorang pemain baseball professional percaya bahwa dia hanya bisa tampil baik ketika mengenakan no punggung 24. Ketika Henderson pindah tim, ternyata no punggung 24 telah dipakai oleh anggota tim yang lain. Henderson pun mencoba untuk bermain dengan memakai no punggung lain, yaitu 14, tetapi setelah beberapa pertandingan, Henderson mengeluh bahwa dia tidak dapat bermain baik tanpa nomor lamanya, yaitu 24. Tahayul Henderson sangatlah hebat sehingga dia membayar anggota timnya yang memakai no 24 sebeser $25.000 agar dia bisa memakai no 24. Perilaku – perilaku tahayul lain juga ditemukan dalam berbagai jenis olahraga, seperti keinginan untuk berada sendirian sebelum bertanding dan membawa jimat keberuntungan seperti koin (Buhrmann & Zaugg, 1981; Neil, 1982).

Perilaku tahayul yang lain ada yang berdasarkan pada spesifikasi olahraganya. Contohnya seperti dalam basket, perilaku seperti membuat tembakan terakhir dalam pemanasan (Gregory & Petrie, 1975), melakukan tembakan bayangan sebelum menembak free throw (Lobmeyer & Wasserman, 1986), dan ritual menggigit – gigit permen karet (Buhrmann & Zaugg, 1981) sangatlah sering ditemukan.

Perilaku tahayul lainnya didasarkan pada atletnya. Becker (1975) membuat sebuah list tentang perilaku tahayul, termasuk perilaku seorang pemain sepakbola yang merasa dia butuh untuk memakai warna kostum tim lawan di kaos kakinya. Contoh lainnya adalah pada Wade Boggs. Wade Boggs akan makan ayam sebelum pertandingan.

Hbungan antara perilaku tahayul atlet dan performancenya sebaiknya dibahas. Jika Boggs ditanya apakah dia mendapat kekuatan spesial dengan memakan ayam, dia pasti menjawab tidak.Apakah ini berarti bahwa perilaku tahayul tidak membawa dampak apapun terhadap performance? Dan bila Boggs tidak makan ayam sebelum pertandingan, apakah performancenya akan menurun? Sebagai faktanya, jawabannya adalah ya. Walaupun perilaku tahayul ini tidak membawa dampak fisik apapun, tetapi membawa dampak psikologis. Jadi walaupun Boggs menyatakan bahwa dengan memakan ayam tidak membuat dirinya bermain lebih baik, tetapi apabila Boggs tidak memakan ayam sebelum pertandingan, maka performancenya bisa menurun. Perilaku tahayul yang sering dilakukan ini cenderung menurunkan kecemasan atlet dan jika perilaku tahayul ini tidak dilakukan, maka performancenya akan menurun.

3. Observational Learning (Modelling)

Mazur (1994) menyatakan dengan ringkas dan jelas ketika dia menulis, “Biarkan tidak ada kesalahan tentang ini: Banyak sekali porsi dalam pembelajaran manusia yang terjadi, tidak melalui classical conditioning atau sebagai hasil dari reinforcement atau punishment, tetapi melalui observasi”(p. 294). Observational Learning adalah pembelajaran perilaku secara vikarius melalui imitasi dan modeling.

Bandura’s Model of Observational Learning

Peneliti tentang belajar dengan observasi ini adalah Albert Bandura. Bandura telah menulis secara intensif tentang topik ini sejak 1960an (Bandura 1969), dan melanjutkan untuk menyempurnakan teorinya (Bandura, 1986). Bandura (1986) menyatakan bahwa dibutuhkan 4 langkah dalam observational learning agar dapat terjadi. Langkah pertama adalah attention, yaitu perhatian seseorang harus diarahkan pada model. Contohnya, jika seorang pemain basket SMU ingin memodel cara dunk Michael Jordan, maka perhatiannya harus diarahkan pada Jordan ketika Jordan melakukan dunk. Apabila perhatiannya teralihkan pada saat itu, maka dia tidak akan bisa mengulang perilaku Jordan. Karena pelatih sering menjadi perhatian para pemainnya, maka pelatih harus berhati – hati agar atlet dapat memodel perilaku yang tepat (Anshel, 1994).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat karakteristik seperti apa saja yang menjadi pusat perhatian atau fokus yang membuat perhatian ditujukan kepada mereka. Karakteristik yang ditemukan adalah Nurturing(Bandura & Hutson, 1961), affectionate (Zimmerman & Koussa, 1979), prestigious (Mausner, 1953), competent (baron, 1970), Sincere (Klass, 1979), dan high status (Landers & Landers, 1973). Karakteristik – karakteristik inilah yang mendapatkan porsi besar dalam attention. Karakteristik – karakteristik ini meningkatkan efektivitas dari proses modeling.

Walaupun begitu, penelitian akhir – akhir ini tentang motor learning telah menantang asumsi bahwa karakteristik menungkatkan perhatian terhadap target. McCullagh (1986) meminta subjek untuk melihat seorang model yang menunjukkan gerakan motorik dan memanipulasi status model (tinggi atau rendah). Sebagai tambahan, dia memanipulasi informasi tentang status model. Beberapa subjek mendapatkan informasi tentang status subjek ketika fase attention, sedangkan subjek lainnya mendapatkan informasi setelah fase attention. Walaupun McCullagh menemukan bahwa model dengan status yang tinggi mempunyai performance yang lebih baik daripada yang berstatus rendah, tetapi timing dari efek informasi mengenai status model yang diberikan tidak ditemukan. Jadi, tidak masalah bila subjek diberi informasi mengenai model ketika atau setelah fase attention. McCullagh juga menambahkan, walaupun status model memang penting untuk observational learning, efek status tersebut mungkin bukan karena meningkatnya perhatian.

Langkah kedua dalam observational learning adalah Memory (bandura, 1986). Walaupun individu mengarahkan perhatiannya pada model ketika model melakukan perilaku, tetapi tanpa kemampuan untuk menyimpannya dalam memori, hanya kemungkinan kecil perilaku yang diamati itu dapat diimitasi. Hal ini dikarenakan kesempatan untuk memodel perilaku tersebut seringkali terjadi pada beberapa saat berikutnya. Sebagai contoh, mari kita lihat pemain basket yang ingin mengimitasi cara dunk Jordan. Dia pasti melihat dunk Jordan di televisi, video, atau di pertandingan sungguhan. Tentu saja, untuk melakukan dunk yang sama, dia harus pergi ke lapanga basket terlebih dahulu, kemudian baru mengimitasi perilaku tersebut. Di sinilah memori berperan. Apabila informasi yang diterima tidak dapat disimpan dalam memori, maka proses imitasi tidak akan dapat dilakukan. McCullagh (1993) mendeskripsikan 4 strategi encoding dan pengulangan yang mempengaruhi memori , yaitu: Verbalization (pengulangan verbal), Imagery (mengulang melalui bayangan kognitif), Organizational Strategies (Frekuensi dan tipe demonstrasi) dan Physical practice (latihan fisik) dapat meningkatkan memori pada perilaku yang ingin dimodel.

Langkah ketiga adalah motor reproduction. 2 langkah pertama yang disebutkan bermain di ranah kognitif kita, sedangkan pada langkah ini, lebih pada perilaku yang ditampilkan. Jika seorang individu tidak mempunyai kemampuan fisik, intelektual, dll untuk mereproduksi perilaku, maka modeling tidak dapat terjadi. Sebagai contohnya, meskipun pemain basket yang ingin melakukan dunk seperti Jordan, dia telah melihat Jordan melakukan dunk, kemudian juga memasukkannya ke dalam memorinya, tetapi apabila dia tidak memiliki lompatan yang cukup tinggi, maka dia tidak akan bisa melakukan dunk.

Akhirnya, apabila pemain tersebut mengarahkan perhatiannya pada Jordan, mengingat perilaku Jordan, dan memiliki kemampuan fisik, intelektual, dll untuk menunjukkan perilaku, perilaku yang dimodel belum tentu diproduksi. Hal ini karena 3 langkah pertama secara sederhana menyediakan seseorang dengan kapasitas untuk memodel perilaku (Mazur, 1994). Langkah terakhir, yaitu Motivation, dapat melampaui ketiga langkah pertama. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa individu harus dimotivasi untuk menunjukkan perilaku yang dipelajarinya. Ini adalah salah satu alasan mengapa motivasi sangat penting dalam olahraga.

Other Factors in Observational Learning

Penelitian pada observational learning telah menemukan faktor tambahan yang mempengaruhi proses modeling. Mazur (1994) mendeskripsikan faktor – faktor ini sebagai karakterisik dari pelajar dan karakteristik dari situasi. Dilihat dari karakteristik dari pelajar, individu yang kurang yakin atau kurang percaya diri pada kemampuannya sendiri akan lebih sering mengimitasi perilaku model (Kanareff & Lanzetta, 1960; Thelen, Dollinger, & Kirkland, 1979). Selain itu, atlet dengan kemampuan yang lebih rendah dan atlet yang meragukan kemampuannya lebih sering mengimitasi atlet lain dan pelatih.

Berdasarkan karakteristik dari situasi, Mazur (1994) mendaftar situasi yang ambigu (Jacubczak & Walters, 1959) atau terlibat suatu tugas yang sulit (Harnick, 1978) sebagai faktor situasional yang mempengaruhi perilaku modeling. Atlet yang kurang mengerti apa yang mereka butuhkan dan atlet yang diminta untuk menunjukkan perilaku yang cukup sulit biasanya bergantung pada modeling untuk memfasilitasi pembelajaran mereka. McCullagh (993) menyatakan bahwa faktor situasional lain, verbal presentations, dapat juga meningkatkan pembelajaran melalui observasi. Menyediakan tanda – tanda verbal kepada atlet bersamaan dengan seorang model visual bisa cukup efektif untuk mengajarkan perilaku yang baru.

The Application of The Psychology of Learning to Sport Setting

Dalam dunia olahraga, penerapan prinsip psikologi belajar diaplikasikan lewat effective behavioral coaching (EBC). EBC adalah aplikasi dari psikologi belajar dalam setting olahraga untuk mengajar dan melatih atlet agar menjadi lebih baik. EBC biasanya mengandung prinsip operan (Reinforcement and Punishment), dan juga teknik modeling (Allison & Allyon, 1980). Begitu juga dengan classical conditioning, teori ini mempunyai keterbatasan dalam olahraga karena sifatnya yang tidak disadari, dan reflex. Dalam olahraga, kebanyakan respon adalah disadari dan berada di bawah kendali pemain atau pelatih atau supporter.

Martin dan Hryciako (1983; liahat juga Donahue, Gillis, & King, 1980) menyatakan bahwa sebuah langkah awal dari penggunaan EBC adalah untuk mentarget suatu perilaku untuk ditingkatkan atau dikurangi dan menyalurkan informasi ini kepada pemain. Seperti yang Warren (1983) nyatakan, untuk menjadi sukses, program reinforcement “harus dimulai dengan pemahaman pelatih dan pemain atas perilaku apa yang diinginkan”.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat keefektifan Behavioral coaching techniques. EBC dikatakan dapat meningkatkan performance atlet dalam olahraga renang (Koop & Martin, 1983; McKenzie & Rushal, 1974; Rushal & Siedentop, 1972), basketball (Anshel, 1994; Siedentop, 1980), physical education classes (McKenzie, 1980), baseball (Anshel, 1994), football (allisan & Allyon, 1980; Siedentop, 1980), dan tennis (Buzas & Allyon, 1981), dan juga perilaku dari pelatih (Smith, Smoll, & Curtis, 1978); Smol et al., 1993); Rushall and Smith, 1979; Trudel & Gilbert, 1995; Ziegler, 1980a).

Untuk melihat bagaimana program ini berjalan, mari kita lihat 2 penelitian di atas. Artikel Siedentop (1980) adalah kandidat bagus untuk penelitian lebih lanjut karena mendeskripsikan bagaimana seorang pelatih sepak bola dan pelatih basket menggunakan prinsip operan dalam timnya. Pelatih sepak bola SMU ini mulai dengan menentukan perilaku spesifik yang hendak ditingkatkan dan dikurangi. Pelatih ini ingin meningkatkan kecepatan bermain dan kekonsistenan dalam berlatih, mengurangi penalty ketika bermain, dan mengurangi perilaku bermasalah di sekolah. Untuk itu, pelatih membutuhkan reinforcement yang diinginkan oleh semua anggota tim dan akhirnya memutuskan untuk memberikan reward kepada pemain dengan menjadi starter dalam pertandingan selanjutnya. Pemain mendapatkan point dari setiap perilaku yang sesuai dengan target perilaku. Pemain yang mendapatkan semua poin yang dapat dikumpulkan minggu itu ditempatkan sebagai pemain yang potensial dan memiliki kemungkinan untuk menjadi kapten pada pertandingan selanjutnya.

Pelatih basket SMP ingin meningkatkan usaha pemainya dalam berlatih. Pelatih ini memberikan point ketika berlatih untuk pemain yang melakukan latihan rutin dan menunjukkan sikap dan perilaku “Team Player”. Point tersebut dijumlahkan dan peman – pemain yang mencapai point tertentu akan diberi reward dengan dimasukkan namanya dalam “Eagle Effort Board” yang dipasang pada jalan menuju Gym. Setelah program ini diimplementasikan, pemain lebih banyak melakukan lay-up, Jump shoots, dan free throw, lebih bermain dengan cepat dan sedikit menunjukkan sikap buruk.

Penelitian Ziegler (1980a) juga sangat menarik karena penelitian ini menyediakan sebuah contoh tentang penggunaan EBC pada perilaku pelatih. Ziegler mempelajari efek dari mereinforce perilaku pelatih voli perempuan. Perilaku pelatih direkam ketika berlatih dalam musim itu, dan pelatih tersebut direinforce dengan pujian ketika satu dari beberapa target perilaku muncul (diskusi, interaksi positif dengan pemain, interaksi positif dan pemberian feedback pada pemain). Hasil mengatakan bahwa semua dari tiga target perilaku menunjukkan peningkatan ketika pelatih direinforce karena perilaku yang ditampilkannya.

Length and Spacing of Practice Session

Penelitian tentang EBC dan psikologi belajar telah menambahkan informasi berharga mengenai lama dan jarak dalam penjadwalan latihan. Jadwal latihan dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu: Distributed Practice, yaitu jadwal latihan yang memiliki jangka waktu yang lama dan waktu istirahat yang lama, sedangkan Massed Practice melibatkan tim berlatih dalam beberapa kali dalam jangka waktu yang pendek. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan manakah antara distributed dan massed practice yang lebih efektif untuk memfasilitasi pembelajaran. Sanderson (1983) berargumentasi bahwa hasil terbaik dapat diperoleh dengan menggunakan sesuatu di antara kedua tipe tersebut. Terlalu banyak atau terlalu sedikit istirahat dapat merusak kemampuan belajar. Jika kedua tipe dibandingkan secara langsung, penelitian telah menemukan bahwa periode istirahat yang lama antar latihan (distributed practice) cenderung lebih baik daripada periode tanpa istirahat atau periode istirahat yang pendek (massed practice, Dore & Hilgard, 1937; Lee & Genovese, 1988; Mazur, 1994). Jika terlalu banyak usaha dilakukan dalam satu sesi, kelelahan dapat terjadi, dan dapat menurunkan performance (Chamberlin & Lee, 1993).

Yang harus dicatat, bahwa pertanyaan tentang apakah tipe latihan yang paling baik tidak dapat dijawab (Mazur, 1994). Faktanya, Chamberlin dan Lee(1993, p. 220) menyatakan bahwa, “tidak ada kesimpulan yang absolute” mengenai lama dan distribusi dari jadwal latihan. Satu masalah dalam penelitian di area ini adalah masa percobaan (latihan) dan periode istirahat terhitung dalam detik (Bourne & Archer, 1956; Chamberlin & Lee, 1993; Noble, Salazar, Skelley, & Wilkerson, 1979).

Feedback, Knowledge of Results, and Knowledge of Performance

Penelitian pada psikologi belajar dan EBC menemukan bahwa motor learning difasilitasi dengan memberikan feedback kepada individu yang sedang belajar menyangkut perkembangannya dalam mempelajari suatu tugas, terutama ketika feedback yang diberikan tepat dan spesifik (Glencross, 1992; Magill & Wood, 1986). Feedback tidak perlu diberikan pada setiap kali latihan untuk mendapatkan keuntungan dari feedback tersebut.Magill menyatakan bahwa sebaiknya pelatih menyadari bahwa individu yang di feedback tidak akan merasa tersakiti karena pelatih melakukan feedback berkali – kali. Magill (1993) juga menyatakan bahwa feedback membawa 2 dampak positif bagi atlet. Pertama, feedback menyediakan informasi mengenai kesuksesan atau kesalahan dari suatu perilaku dan kedua, feedback dapat memotivasi individu untuk mencapai tujuannya. Black dan Weiss (1992) menyatakan bahwa feedback juga berguna bagi atlet karena atlet merespon cukup baik tentang informasi seperti itu, tanpa melihat apakah feedback itu berisi kesuksesan atau kesalahan. Peneliti ini menemukan bahwa kepercayaan bahwa pelatih memberikan feedback yang bermutu berhubungan dengan tingkat kesenangan, kompetensi dan sukses yang dirasakan.

Dua tipe feedback yang penting bagi pembelajaran adalah knowledge of results dan knowledge of performance. Knowledge of Results (KR) melibatkan penyediaan informasi kepada pelajar mengenai keakuratan perilakunya (Mazur, 1994). Thomas et al (1993) menyatakan KR sebagai “Outcome information” (p. 93), contohnya memberikan informasi tentang seberapa jauh bola dilempar atau seberapa tinggi seseorang melompat . Menurut observational learning, mendapatkan KR dari perilaku model dapat menghasilkan perilaku yang akurat apabila mereka diberi informasi mengenai keakuratan performance model. Knowledge of Performance (KP) melibatkan pemberian informasi menyangkut satu atau lebih bagian dari proses gerakan yang melibatkan hasil. Contohnya adalah memberikan informasi mengenai bagaimana footwork, cara memegang bola, posisi tubuhnya. Menyediakan informasi mengenai KP dan KR dapat menjadi strategi feedback yang paling efektif (Schmidt & Young, 1991).

The Use of Punishment in Sport

Walaupun punishment dapat menjadi sangat sukses untuk mengajarkan dan merubah perilaku (Schwartz, 1989), Hal itu juga dapat menimbulkan beberapa masalah bagi pelatih yang menggunakan strategi ini. Sebagai hasilnya, mereinforce perilaku yang diinginkan lebih dipilih daripada menghukum perilaku yang tidak diinginkan. Faktanya, bahkan Thorndike pun menyempurnakan teorinya yang menyatakan kekurangan dari punishment (Thorndike, 1931). Penelitian dalam psikologi belajar dan psikologi olahraga telah mengidentifikasikan beberapa masalah berkaitan dengan punishment yang menjadikan punishment lebih tidak diminati.

Pertama, punishment seringkali memiliki kekurangan dalam intensitas (Schwartz, 1989). Untuk menjadi efektif, punishment harus kuat (Azrin & Holz, 1966). Jika tidak, efeknya hanya sementara, dan hanya berlaku selama hukuman itu berlaku. Memilih level intensitas yang tepat adalah tugas yang sulit. Dalam olahraga, hukuman seringkali berbentuk teguran keras secara verbal karena hukuman fisik dianggap tidak dapat diterima (Warren, 1983). Hasilnya, hukuman bisa jadi kurang kuat untuk mengubah perilaku.

Kedua, perilaku yang tidak diinginkan dan hukuman yang diberikan biasanya dipisahkan oleh suatu jangka waktu tertentu (Azrin & Holz, 1966; Schwartz, 1989). Ingat, baik reinforcement maupun hukuman harus sesegera mungkin agar efektif. Contohnya seorang pemain sepakbola yang dibangkucadangkan pada game hari jumat karena malas berlatih pada hari selasa. Akan ada jeda 3 hari antara perilaku dan hukuman, dan sebagai hasilnya, hukuman itu akan kehilangan sebagian besar keefektifannya.

Ketiga, Hukuman tidak memberitahukan individu apa yang harusnya dilakukan, tetapi hanya mengatakan apa yang tidak sebaiknya dilakukan (Mazur, 1994; Schwartz, 1989; Skinner, 1971; Warren, 1983). Seorang pelatih American football mungkin berteriak pada lineman nya karena melakukan block yang buruk “Kok bisa kamu melakukan hal itu?” atau “Aku tidak mau melihat kamu melakukan hal itu lagi”. Dengan kata – kata tersebut, pemain tidak tahu perilaku optimal apa yang diharapkan oleh pelatih dan pemain tidak dapat meingkatkan skillnya. Pelatih harusnya selain memberikan teguran juga memberikan apa yang sebaiknya dilakukan.

Yang terakhir, masalah lain dengan penggunaan hukuman termasuk: ketidakmampuan untuk menghukum setiap kali perilaku itu muncul (Azrin & Holz, 1966), Kesalahan untuk menerangkan alasan di balik hukuman (Baron & Greenberg, 1990), emosi negatif dan agresi yang dapat dihasilkan oleh hukuman (Azrin & Holz, 1966; Mazur, 1994), dan bagi beberapa pemain, perhatian yang dibarengkan dengan hukuman bisa cukup memberikan reward bagi dirinya. Karena masalah – masalah dengan penggunaan hukuman, banyak psikolog olahraga yang melihat reinforcement sebagai hal yang lebih baik daripada hukuman (Buzas & Ayllon, 1981; LeUnes & Nation, 1989). Faktanya, Anshel (1994) berani mengatakan bahwa hukuman dalam olahraga adalah hal yang tidak benar dalam memodifikasi perilaku (p. 188)

Leave a comment