Archive for Sport

Player Attribution in Sport

Posted in Psikologi Olahraga with tags , on August 24, 2008 by sl1m1987

Dalam olahraga, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah, mengapa wartawan, pemain, dan fans selalu tertarik untuk mengetahui sebab para pemain dan tim-tim bertindak dan berperilaku tertentu. Sebagai contoh, saat Chris Webber memberi timnya peluang kejuaraan bola basket kampus dengan meminta time out dengan ilegal, semua orang ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu. Apakah dia lupa batas jumlah time out yang telah digunakan oleh timnya tersebut? Apakah dia mengalami kesalahpahaman dengan rekan se-timnya yang berteriak dari bangku penonton? Pertanyaan “mengapa” ini menunjukkan pentingnya proses atribusi dalam olahraga. Atribusi adalah estimasi atau perkiraan penyebab perilaku yang muncul, baik itu perilaku kita sendiri atau perilaku orang lain.

Expected vs Unexpected dan Succesful vs Unsuccessful Outcomes

Penelitian – penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil yang negatif dan tidak diharapkan (negative and unexpected) merujuk pada atribusi. Contohnya adalah atlet yang kalah ketika mereka mempunyai ekspektasi bahwa mereka akan menang, begitu juga dengan atlet yang merasa kalah, tetapi akhirnya menang. Kedua hal ini dapat membentuk pola – pola atribusi untuk menjelaskan hasil yang telah dicapai.

Walaupun begitu, Kanazawa (1992) mengkritik pemikiran ini karena banyak studi yang telah menggabungkan antara expectancy (harapan) dan success manipulations (manipulasi sukses) yang menyebutkan bahwa, dua variabel tersebut saling tergantung satu sama lain. Contohnya, jika seorang atlet percaya bahwa dia akan memenangkan sebuah kompetisi, tetapi kemudian kalah, atlet ini akan mengalami hasil yang negatif dan tidak diharapkan (negative and unexpected outcome). Walaupun kelihatannya terlihat bahwa kedua faktor tersebut sangat penting, tetapi mungkin hanya satu variabel saja yang menjadi penyebabnya. Kanazawa percaya bila success dan expectancy outcomes diteliti secara independent, hanya expectancy outcomes lebih merujuk pada pernyataan atribusi yang lebih banyak daripada unexpected outcomes. Walaupun begitu, seperti yang telah diprediksikan, tidak ada perbedaan dalam jumlah atribusi yang terbentuk dalam successful dan unsuccessful setting. Berdasarkan penemuan ini, seorang atlet yang mempunyai ekspektasi akan kalah dan atlet kalah yang berharap untuk menang untuk menciptakan lebih banyak penjelasan atribusional untuk menjelaskan hasil yang mereka dapat. Di samping itu, seorang atlet mempunyai pandangan atau ekspektasi bahwa dia akan kalah dan memang kalah, dia diprediksikan tidak akan menciptakan berbagai alasan dari hasil yang dia dapat.

Attributional Dimensions

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi dan memahami berbagai dimensi yang terlibat di dalam proses atribusi. Beberapa dimensi atribusi yang telah diidentifikasi:

The Locus of Causality Dimension and Kelley’s Covariation Model

Ketika beberapa dimensi atribusi yang berbeda telah ditemukan, perhatian yang paling besar terdapat pada locus of causality dimension. Locus of causality dimension menyebutkan bahwa believes seseorang dapat menyebabkan seseorang berpikir bahwa penyebab suatu perilaku berasal dari sumber eksternal atau internal.

Atribusi Internal merefleksikan kepercayaan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh individu itu sendiri. Contohnya: ketika seorang pemain bulutangkis memenangkan sebuah pertandingan atau kompetisi, dia percaya bahwa kemenangannya disebabkan oleh kemampuannya dan kerja kerasnya.

Atribusi Eksternal merefleksikan kepercayaan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh lingkungan. Contohnya: ketika seorang pemain bulutangkis menjuarai sebuah kompetisi, dia merasa bahwa hal itu dikarenakan takdir.

Satu contoh terakhir untuk membedakan antara atribusi eksternal dan atribusi internal adalah sebagai berikut:

Denis adalah seorang pemain baseball, ketika di inning terakhir, Denis diminta memukul. Kemudian hasil pukulannya pun menjadi Home Run dan membawa timnya ke kemenangan. Ketika pelatih Denis ditanya, apa yang membuat Denis bisa seperti itu, dia menjawab bahwa itu karena Denis mempunyai tangan yang hebat, koordinasi tangan-mata yang baik, dan kekuatan tubuh bagian atas. Ketika pelatih tim lawan ditanyai hal yang sama, dia menjawab bahwa Denis bisa memukul seperti itu karena faktor keberuntungan.

Dari cerita di atas, kita bisa melihat bahwa pelatih tim Denis melakukan atribusi internal dan pelatih tim lawan melakukan atribusi eksternal.

Sekarang yang menjadi pernyataan adalah apa yang menentukan seseorang dalam membentuk atribusi internal atau eksternal. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan Covariation Theory, yaitu ketika individu mencoba untuk menentukan locus of causality dari sebuah perilaku, mereka mencoba untuk mendapatkan informasi tentang 3 aspek, yaitu: Consistency, Distinctiveness, dan Consensus.

o Consistency menunjuk pada frekuensi munculnya suatu perilaku dalam situasi tertentu.

o Distinctiveness menunjuk pada derajat pemunculan suatu perilaku dalam situasi lainnya.

o Consensus menunjuk pada jumlah individu lain yang berperilaku sama dalam situasi tertentu.

Contohnya, Jennifer seorang pemain bola voli, baru saja dikeluarkan dari pertandingan karena mengumpat pada wasit. Menurut Kelley, kita harus mencari ketiga aspek tersebut agar dapat mengetahui apakah perilakunya termasuk atribusi eksternal atau internal. Misalkan, menurut pengalaman sampai saat ini, Jennifer biasanya berperilaku seperti ini dalam situasi yang demikian. Dengan kata lain, Jennifer secara konsisten sering mengumpat wasit ketika permaianan tidak sesuai dengan persepsinya. Yang kedua, kita melihat Jennifer dalam setting yang lain, misalkan dalam permainan basket, Jennifer juga cukup agresif, sehingga sering mengumpat wasit juga. Yang terakhir, kita harus melihat apakah pemain lain, selain Jennifer juga melakukan perilaku agresif yang sama ketika itu dan ternyata hanya Jennifer yang berperilaku agresif seperti itu.

Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku Jennifer cenderung konsisten, perilaku yang sama juga muncul dalam kejadian lain, dan tidak ada consensus karena tidak ada anggota tim lainnya yang berperilaku seperti Jennifer. Jadi yang dilakukan Jennifer adalah Internal Attribution.

The Stability and Controllability Dimensions

Walaupun Weiner (1979 ,1980a) meyakini bahwa internal/eksternal locus of causality dimension itu penting, tetapi untuk mengerti proses atribusi secara menyeluruh, dimensi lain harus dipertimbangkan juga. Weiner merasa bahwa atribusi terbentuk dengan 2 dimensi tambahan, yaitu stability and controllability.

The stability attributional dimension menceritakan tentang bagaimana believes seseorang merupakan penyebab seseorang melakukan sebuah perilaku adalah karena ha; – hal yang bervariasi.

Stable attributions merefleksikan bahwa sebuah perilaku dikarenakan oleh personality traits atau lingkungan yang permanent atau mendekati permanent. Contohnya, seorang atlet dapat menyatakan kesuksesannya dalam mengerjakan sebuah tugas karena kemampuannya atau karena kemudahan tugas itu.

Unstable attributions merefleksikan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh traits yang variatif atau lingkungan. Contohnya, seorang atlet dapat merasa bahwa kesuksesannya dikarenakan kemampuannya atau suasana hatinya.

Dimensi ketiga yang didiskusikan Weiner (1979, 1980a), yaitu the controllability attributional dimension, menyoroti individu yang mempercayai bahwa penyebab perilaku ada di bawah kendali sukarela dari pelaku.

Controllable attributions menyoroti kepercayaan bahwa sebuah perilaku berada di bawah kendali pelaku.

Uncontrollable attributions menyoroti kepercayaan bahwa sebuah perilaku berada di luar control pelaku. Contohnya, karena atlet dapat mengontrol usahanya, atribusi seperti “Dia berhasil karena dia telah melakukan usaha yang sangat keras” adalah controllable attributions. Sedangkan, atribusi seperti “dia berhasil karena dia mempunyai kemampuan bakat alam yang tinggi” adalah uncontrollable attributions.

Dengan mengkombinasikan 3 dimensi atribusi Weiner (locus of causality, stability, and controllability), kita dapat membuat prediksi tentang tipe atribusi yang diharapkan dapat berhasil atau tidak berhasil. Setiap kombinasi yang berbeda menghasilkan atribusi yang berbeda.

Controllable

Uncontrollable

Stable

Unstable

Stable

Unstable

Internal

Stable effort of self

Unstable effort of self

Ability of self

Fatigue, mood, and fluctuations in skill of self

External

Stable effort of others

Unstable effort of others

Ability of others, task difficulty

Fatigue, mood, and fluctuations in skill of others, luck

Attributional Errors

The fundamental Attribution Error

Penelitian telah menemukan bahwa individu sering melakukan kesalahan atribusi (Jones, 1979; Ross, 1977; Snyder & Jones, 1974). Fundamental attribution error adalah sebuah bias, yaitu pola atribusi yang mana seseorang terlalu menekankan penyebab internal dan terlalu tidak menekankan penyebab eksternal. Contohnya, sebuah tim sedang berkumpul mendiskusikan alasan mengapa salah satu anggota tim melakukan perilaku yang kurang baik. Berdasarkan fundamental attribution error, kita akan melihat bahwa hal yang menyebabkan perilaku tersebut adalah penyebab internal, seperti kemalasan, atau kekuarangan motivasi, daripada penyebab eksternal seperti masalah ketika perjalanan, atau lalu lintas yang padat.

Penelitian telah menemukan 2 alasan mengapa sampai terjadi fundamental attribution error. Alasan pertama adalah karena masalah fokus perhatian. Ketika individu melihat orang lain melakukan sebuah perilaku, fokus perhatian mereka biasanya secara dangkal ditujukan pada pelakunya daripada keadaan sekitar atau lingkungan. Sebagai hasilnya, mereka cenderung percaya bahwa orang tersebutlah yang menyebabkan perilaku tersebut (Storms, 1973).

Faktor kedua melibatkan usaha yang diperlukan untuk membentuk atribusi internal dan atribusi eksternal. Faktor ini adalah sebuah komponen utama dari three-stage model atribusi yang dikemukakan oleh Gilbert dan kolega (Gilbert, 1995; Gilbert, Pelham, & Krull, 1988). Model ini, melibatkan satu fase identifikasi dan dua fase atribusi.

Fase identifikasi menyatakan, “sebelum kita dapat bertanya mengapa seseorang berperilaku dalam cara tertentu, kita pertama harus mengetahui apa yang sedang dilakukannya” (Gilbert, 1995, p. 117). Sekali individu telah menentukan apa yang sedang dilakukan seseorang, mereka bergerak ke fase atribusi yang melibatkan pembentukan atribusi internal karena atribusi ini terjadi secara otomatis. Langkah kedua, membentuk atribusi eksternal, cenderung membutuhkan usaha yang lebih berat.

Teori ini memprediksikan bahwa seseorang akan membentuk atribusi eksternal ketika:

  1. Mereka mempunyai informasi yang bagus mengenai situasi yang sedang terjadi
  2. Perhatian mereka tidak tertuju pada masalah / tugas lain

Kelihatannya, kedua faktor tersebut mungkin relevan untuk populasi yang berbeda. Spektator, ketika mengamati sebuah event olahraga, cenderung untuk memfokuskan perhatian pada penguasaan bola atlet daripada keadaan di sekitar orang tersebut. Sebagai hasilnya, mereka cenderung mempercayai bahwa atletlah yang bertanggung jawab terhadap perilakunya. Di tangan lain, usaha yang diperlukan untuk membentuk atribusi internal dan eksternal bisa jadi paling relevan untuk atribusi yang dibentuk oleh atlet dan pelatih. Logikanya adalah, ketika kompetisi, atlet dan pelatih harus mencurahkan semua kapasitas perhatian dan usaha pada kompetisi. Sebagai hasilnya, mereka tidak mempunyai waktu dan energi untuk membentuk atribusi eksternal.

The Self-Serving Bias

Self-serving bias adalah pola atribusi yang berfokus pada diri, di mana individu menggunakan faktor eksternal ketika mengalami kekalahan & menggunakan faktor internal saat mereka mengalami keberhasilan.

Contohnya saat seorang petenis berhasil mengalahkan seorang lawan yang berat atau berbakat, petenis tersebut akan mengatakan bahwa kemampuannya-lah yang membuat dirinya berhasil mengalahkan lawannya. Namun, sebaliknya saat petenis tersebut mengalami kekalahan, maka dia akan mengatakan bahwa faktor cuaca atau faktor lawan dll yang menyebabkan kekalahannya itu.

Self-serving bias terdiri dari dua bagian:

· Strategi peningkatan ego dengan menggunakan atribusi internal sebagai penyebab keberhasilan

· Strategi perlindungan ego dengan cara menggunakan penyebab – penyebab eksternal yang bertanggung jawab atas kekalahannya

Terdapat 2 alasan munculnya self-serving bias :

o Menurut Myers (1993), self-serving bias dapat muncul atas keinginan untuk membuat diri seseorang tampak lebih baik. Hal ini seperti menjelaskan bahwa perdebatan mengenai self-serving bias, bahwa terdapat alasan yang memotivasi di balik kesalahan. Secara spesifik, dipercaya bahwa tiap-tiap individu terdorong untuk mempertahankan citra diri positif, dan salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan self-serving bias.

o Self-serving bias muncul berdasarkan tingkat kognitif seseorang. Penjelasan ini seringkali mengarah pada pendekatan pemrosesan informasi (Myers, 1993). Pernyataan bahwa self-serving bias adalah produk sederhana dari bagaimana kognisi seseorang menerima dunia mereka.

Para pendukung dari pendekatan pemrosesan informasi tidak percaya bahwa orang secara sadar terdorong untuk menggunakan self-serving bias untuk mempertahankan citra diri positif mereka. Sebaliknya, mereka merasa bahwa orang secara alami melihat diri mereka masing-masing dari segi positif dan oleh karena itu secara alami proses informasi mengenai perilaku mereka secara positif bias dengan sikap mereka. Karena penelitian telah didukung oleh pendekatan pemrosesan motivasi dan informasi pada self-serving bias, maka kedua sudut pandang terlihat memiliki manfaat.

Beberapa studi telah menguji self-serving bias dalam bidang atletik. Secara umum, riset ini telah menemukan bahwa para pemenang lebih memiliki kemungkinan membentuk atribusi internal daripada para atlet yang kalah. Lebih jauh lagi, dalam penelitian terhadap atlet tenis meja, McAuley dan Gross (1983) menemukan bahwa bentuk atribusi para pemenang lebih ke arah internal, stabil, dan terkontrol dibandingkan para atlet yang kalah. Pada atlet squash, juga ditemukan bahwa para pemenang memiliki atribusi yang lebih terkontrol dan stabil dari pada para atlet yang kalah. Bagaimanapun dalam riset ini para pemenang ataupun pecundang tidak dibedakan berdasarkan locus of causality dimension. Selain itu ditemukan pula bahwa para pemain tim hoki papan bawah juga mampu untuk mempertahankan identitas diri positif dengan menghubungkan antara ketidaksuksesan mereka dengan permainan kotor tim lawan. Akhirnya penelitian dilakukan dengan menggunakan atlet-atlet muda, dan ditemukan bahwa anak dengan harga diri tinggi cenderung membentuk atribusi yang internal dan stabil.

Untuk membantu menjelaskan mengapa sejumlah studi olahraga mengalami kegagalan u/ menemukan self-serving bias, disarankan agar dibuat suatu norma yang unik untuk digunakan dalam beberapa susunan olahraga. Norma ini disebut dengan sport outcome responsibility norm, yang akan memacu para atlet untuk menerima tanggung jawab untuk tindakan dan hasil mereka. Sebagai hasil dari norma ini, para atlet merasa terpaksa untuk menginternalisasi kegagalan mereka sama dengan keberhasilan mereka. Kemudian, dampak dari self-serving bias bisa berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Berdasarkan alasan ini, beberapa studi telah menemukan bahwa para atlet membentuk atribusi internal tingkat tinggi, tanpa memperhatikan apakah mereka berhasil atapun tidak.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa self-serving bias adalah nyata dan merupakan sebuah fenomena aktif dalam dunia olahraga, walaupun besarnya fenomena ini bisa saja lebih kecil dibandingkan yang sebenarnya dipercaya. Lebih jauh lagi, kemungkinan sport outcome responsibility norm setidaknya berpengaruh kepada pengurangan dari dampak self-serving bias dalam atletik.

Atributional Differences Based on Sport Type

Penelitian yang dilakukan oleh Tenenbaum & Furst (1985), mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan perbedaan atribusi berdasarkan jenis olahraga. Mereka menemukan bahwa para atlet yang bermain dalam olahraga yang bersifat individu, lebih memiliki atribusi internal dibandingkan mereka yang bermain dalam olahraga tim. Tampaknya, hal ini disebabkan atlet olahraga individual semata-mata bertanggung jawab atas performa mereka sendiri, maka mereka kurang memperhatikan tekanan dari luar memiliki dampak pada perilaku mereka.

Leith dan Prapavessis (1989) mencoba untuk membandingkan atribusi atlet yang terlibat dalam olahraga subjektif dan olahraga objektif.

· Olahraga subyektif, adalah olahraga di mana hasil akhir didasarkan evaluasi subyektif, dan penilaian diberikan oleh lebih dari 1 juri.

Contoh: olahraga menyelam, gymnastic.

· Olahraga obyektif, adalah olahraga di mana hasil akhirnya ditentukan oleh unit-unit yang terukur dan kompetisi langsung.

Contoh: bowling.

Dari hasil penelitian ini, yang mengejutkan adalah tidak ada perbedaan yang signifikan antara atlet yang terlibat dalam olahraga subjektif dan objektif.

Gender, Age and Race Differences in Sport Attributions

Gender Differences in Attributional Processes

Beberapa peneliti telah membandingkan atribusi yang ditunjukkan oleh atlet pria dan wanita. Pada pemikiran pertama pada topik, beberapa peneliti berpikir bahwa para wanita dan atlet wanita cenderung tidak melakukan self serving bias daripada para pria dan atlet pria (Deaux, 1934; Lenny, 1977; McHugh, Duquin, & Frieze, 1978). Pengarang tersebut mengatakan bahwa, karena sukses di dalam olahraga melanggar stereotipe peran jenis kelamin, ketika para wanita sukses dalam olahraga mereka cenderung membentuk atribusi eksternal, dan ketika para wanita gagal, mereka akan melakukan atribusi internal. Beberapa studi mendukung dugaan bahwa para atlet wanita lebih jarang melakukan self-serving bias daripada para pria. Bagaimanapun, sebuah persamaan bila tidak ada sebuah studi yang lebih besar, tidak akan menemukan perbedaan antara atribusi dari atlet pria dan wanita. Pada kenyataannya, sejumlah besar studi gagal mengindikasikan perbedaan jenis kelamin dalam olah raga.

Untuk menjelaskan kurangnya bukti mengenai perbedaan atribusi antara atlet pria dan wanita, akan lebih membantu bila kita melihat ulang diskusi mengenai ketakutan akan sukses. Dalam bagian personality, kita menyatakan bahwa atlet wanita venderung tidak mengalami ketakutan akan sukses karena sukses yang didapat cenderung konsisten dengan peran mereka yang diperoleh melalui partisipasi atletik. Fenomena yang sama, mungkin terjadi dengan bentuk atribusi dari para atlet wanita. Daripada menunjukkan hal yang negatif, pola yang tidak bias, para atlet wanita menunjukkan sebuah pola yang sama dengan para atlet pria karena para atlet wanita tidak mempercayai bahwa kesuksesan atletik melanggar peran gender mereka.

Age Differences in Attributional Processes

Ketika beberapa peneliti memfokuskan perhatian mereka pada perbedaan usia dalam atribusi, penelitian menjelaskan bahwa topik ini telah menjadi cukup langka (Biddle, 1993; Rejeski & Brawley, 1983). Pada kenyataannya, kurangnya penelitian pada topik ini membuat seseorang menjadi tidak bersemangat untuk menarik gambaran umum/ kesimpulan mengenai hubungan antara usia dengan atribusi olahraga.

Studi yang paling lengkap pada hubungan antara proses atribusi dalam olahraga telah dibuat oleh Bird dan Williams (1980). Peneliti tersebut menjelaskan atribusi dari 192 anak laki – laki dan 192 anak perempuan dari empat kelompok usia (7-9, 10-12, 13-15, dan 16-18 tahun). Subjek diminta untuk membaca sebuah cerita yang berhubungan dengan olahraga. Pada beberapa cerita, karakternya adalah laki – laki, dan pada cerita lainnya adalah perempuan. Selanjutnya pada beberapa cerita, karakter yang menjadi tokoh utama mendapatkan sukses di perjuangan atletik, pada cerita yang lain, tokoh utama mengalami kegagalan. Setelah membaca ceritanya, subjek diminta untuk menyatakan tingkat kepercayaan mereka mengenai hasil berdasarkan kemampuan, kerja keras, tingkat kesulitan tugas, dan keberuntungan. Bird dan Williams menemukan bahwa tiga kelompok usia termuda tidak membuat atribusi yang berbeda berdasarkan jenis kelamin dari tokoh utama. Bagaimanapun, perbedaan gender timbul di kelompok usia tertua (16-18 tahun). Subjek pada kelompok usia tersebut mencatat bahwa kesuksesan pada laki – laki adalah karena perjuangan, sedangkan sukses pada perempuan adalah karena keberuntungan. Hal itu menjelaskan bahwa studi ini menilai atribusi anak – anak langsung kepada orang lain, sedangkan atribusi anak – anak terhadap diri mereka sendiri tidak diukur.

Pada studi yang lain, menyatakan bahwa perbedaan usia pada atribusi olahraga, White (1993) menilai kausalitas, kestabilan, dan dimensi kemampuan mengontrol untuk atribusi dari pemain softball anak – anak dan remaja. Subjek diminta untuk melengkapi CDS setelah permainan pertama dari turnamen (semua pemain memenangkan permainan). Dua kelompok usia tidak mengalami perbedaan dalam kausalitas dan dimensi control (controllability dimensions). Bagaimanapun, pemain yang lebih muda cenderung membentuk atribusi yang stabil.

Race and The Attributional Process

Pada bagian ini, daripada membahas tentang atribusi terhadap diri sendiri berdasarkan perbedaan ras, kita akan membahas bentuk atribusi langsung kepada orang lain untuk menjelaskan perilaku dari atlit kulit putih dan kulit hitam. Salah satu studi yang paling informatif dalam area ini dibuat oleh Murrell dan Curtis (1994). Peneliti tersebut membahas liputan majalah mengenai enam quarterback profesional, tiga berkulit hitam dan tiga berkulit putih. Tiga pemain berkulit hitam dipilih karena hanya mereka yang telah menjadi quarterback selama tiga tahun pemeriksaan. Quarterback kulit putih dipilih karena tingkat penampilan mereka serupa dengan pemain kulit hitam. Lima majalah mengandung 38 artikel mengenai satu atau lebih quarterback. Majalah – majalah tersebut mengandung lebih dari 250 penjelasan mengenai perilaku quarterback. Penjelasan perilaku ditandai berdasarkan tingkat dimensi kausalitas, stabilitas, dan kemampuan mengontrol(controllability dimensions). Ditemukan bahwa dimensi kausalitas dari atribusi penulis tidak dibedakan oleh ras. Secara umum, atribusi internal terjadi pada kedua pemain, kulit putih maupun kulit hitam. Penampilan quarterback kulit putih kurang stabil namun lebih terkontrol daripada atlit kulit hitam. Dengan demikian, atribusi perilaku atlit kulit putih adalah internal, tidak stabil, dan terkontrol, mengindikasikan bahwa penampilan mereka adalah hasil dari kemampuan alami.

Hasil dari penelitian Murrell dan Curtis (1994) mengggarisbawahi perbedaan atribusi digunakan untuk menjelaskan kesuksesan atlit kulit hitam. Beberapa orang percaya bahwa kesuksesan pemain olahraga Afrika – Amerika berdasarkan pada kemampuan alami tingkat tinggi mereka. Atau dengan kata lain, pemain kulit putih menjadi sukses karena kerja keras, kerajinan dan inteligensi mereka.

Dengan demikian, nampak bahwa kesuksesan dari atlit kulit putih dirasa sebagai fungsi perjuangan, sedangkan kesuksesan atlit kulit hitam ditunjukkan sebagai hasil dari kemampuan alami. Bentuk atribusi ini dapat membawa pada evaluasi yang tidak adil mengenai penampilan. Penelitian yang sebelumnya telah mengindikasikan bahwa masing – masing pribadi lebih tidak tertekan ketika mereka melihat kesuksesan seseorang karena perjuangan daripada ketika mereka mempercayai bahwa sukses adalah berdasarkan kemampuan (Baron & Greenberg, 1990; Mitchell, Green, & Wood, 1982).