Learning in Sport

Posted in Psikologi Olahraga on August 25, 2008 by sl1m1987

Learning In Sport

Salah satu tanggung jawab utama pelatih dan manager adalah mengajarkan perilaku baru kepada pemain – pemainnya. Hal ini sangat diperlukan terutama pada pelatih atau manager yang melatih atlet yang masih muda. Contohnya, cara memegang dalam tennis, follow through (Shooting) dalam basket. Pemahaman tentang cara belajar dan akuisisi kemampuan adalah hal yang penting jika seseorang akan melatih dan mengajari pemain agar dapat bermain dengan optimal. Pertanyaan seperti berapa lama dan berapa sering sebaiknya berlatih, seberapa efektif pujian secara verbal, dan apakah sebaiknya ada hukuman yang diberikan adalah pertanyaan – pertanyaan yang penting bagi Pelatih. Adalah Psikologi belajar yang menyediakan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan di atas.

Psikologi belajar telah menikmati tradisi yang lama dan kaya di psikologi. Dimulai dengan penemuan Ivan Pavlov yang sangat berpengaruh, setelah itu, Thorndike, dan John Watson, dan dilanjutkan dengan B.F. Skinner. Aliran ini dinamakan Behaviorism, yaitu psikologi seharusnya adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku yang dapat dilihat dan fenomena – fenomena yang tidak dapat dilihat / diobservasi berada di luar psikologi. Behaviorisme telah berjasa dalam penelitian dalam cakupan yang luas tentang cara – cara yang paling efektif untuk belajar. Penelitian – penelitian itu sangat penting kontribusinya bagi psikologi olahraga dan menimbulkan insight terhadap latihan atlet. Sekarang kita lihat bahwa ada 3 tipe belajar dan aplikasinya dalam psikologi belajar:

1. Classical Conditioning

Ivan Pavlov sangatlah sibuk dengan penelitiannya tentang system digestive. Penelitiannya melibatkan seekor anjing yang berhubungan dengan salivasi. Anjing yang dipakai untuk percobaan dioperasi kecil dengan memindahkan saluran air liurnya agak keluar dan diberi tabung, sehingga seberapa banyak air liur yang keluar dapat dihitung. Setelah itu, seorang asisten peneliti akan memberikan makanan pada anjing dan mencatat salivasi anjing tersebut. Ternyata, ketika penelitian berlangsung, sesuatu yang menarik terjadi. Anjing itu mulai bersalivasi sebelum diberi makanan. Pada kenyataannya, anjing itu mulai meneteskan air liur ketika asisten tersebut mendekat atau mendengar suara langkahnya.

Kenapa anjing itu meneteskan air liur sebelum diberi makanan? Pavlov (1927) ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan ini dan mulai menyelidiki kejadian ini. Penelitiannya kemudian menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan classical conditioning. Classical conditioning adalah sebuah bentuk belajar yang involuntary, maksudnya adalah berhubungan dengan respon refleks. Classical conditioning mulai dengan sebuah stimulus (Unconditioned Stimulus/UCS), yang secara otomatis menimbulkan respon reflex yang dinyatakan dengan unconditioned response (UCR). UCR terjadi secara otonom. UCR terjadi karena adanya UCS. Pada penelitian Pavlov, UCSnya adalah makanan anjing, dan UCRnya adalah tetesan air liur. Pada titik ini, sebuah stimulus netral (NSàCS) diberikan sebelum UCS. Setelah beberapa kali UCS dipasangkan dengan NS, maka NS berubah menjadi CS. Ketika NS berubah menjadi CS, maka CS dapat menimbulkan suatu respon yang disebut CR(Conditioned Response).

Pavlov pun melanjutkan penelitiannya. Dia menaruh seekor anjing di dalam sebuah kandang. Kemudian dia memasangkan suara bel(NS) dengan Makanan (UCS) yang menyebabkan salivasi (UCR). Setelah beberapa kali NS dan UCS dipasangkan, maka NS pun berubah menjadi CS, sehingga hanya dengan suara bel (CS) saja, maka terjadilah salivasi (CR). Hal penting yang harus diingat adalah hubungan waktu antara CS dan UCS sangatlah vital. CS atau NS harus dimunculkan beberapa detik sebelum UCS. Jika yang diberikan adalah makanannya, maka anjing itu akan meneteskan air liur terlebih dahulu dan suara bel itu tidak akan menimbulkan suatu respon.

Setelah kita memahami classical conditioning, kita sekarang dapat melihat bagaimana classical conditioning beroperasi di jalur olahraga. Mari kita lihat Billy, seorang anak berusia 4 tahun. Billy adalah anak yang pemalu dan introvert. Billy sangat tidak suka meninggalkan rumah dan ada kekhawatiran atau kecemasan ketika meninggalkan rumah, dan hasilnya, Billy hanya mempunyai beberapa teman dan kurang dapat menyesuaikan diri di lingkungan sosial. Dengan harapan untuk meningkatkan social skillnya, orang tua Billy menempatkan dia pada sebuah tim tee-ball. Seluruh anggota dan pelatih di sana adalah orang asing bagi Billy. Sebagai hasilnya, pergi berlatih menimbulkan respon yaitu kecemasan pada Billy. Setiap sebelum berlatih, Ibu Billy selalu memberinya sarung baseball dan topi. Pada awalnya, sarung dan topi Billy tidak menimbulkan respon apapun. Walaupun begitu, setelah beberapa lama, hanya dengan melihat sarung baseball atau topi saja sudah membuat Billy merasa cemas. Dari sini bisa kita lihat bahwa UCSnya adalah pergi berlatih yang akhirnya menghasilkan rasa cemas(UCR), NS yang nantinya akan menjadi CS adalah sarung dan topi. Karena UCS terus dipasangkan dengan NS, maka NS pun menjadi CS, Jadi hanya dengan melihat topi atau sarung saja, Billy sudah cemas (CR).

Prinsip – prinsip classical conditioning:

Extinction

Mari kita lihat kembali penelitian Pavlov. Setelah beberapa kalo pemasangan bel dengan makanan, anjing tersebut mulai meneteskan air liur hanya dengan mendengar suara bel. Kita dapat berimajinasi bahwa Pavlov dan asistennya sama – sama senang dan kagum dengan penemuan ini. Kemudian mereka mungkin menunjukkan hal tersebut kepada teman atau saudara – saudara mereka. Ternyata, setelah beberapa kali diberikan suara bel tetapi setelah itu tidak diberikan makanan, maka anjing tersebut tidak meneteskan air liur lagi.

Untuk mengilustrasikan bagaimana extinction terjadi dalam dunia olahraga, mari kita lihat Billy lagi. Seperti yang kita tahu, hanya dengan melihat sarung dan topi saja, Billy sudah cemas. Tetapi apabila, pada latihan – latihan berikutnya, Billy tidak mengalami situasi yang membuat dia cemas, maka CS Billy terhadap sarung dan topi akan hilang.

Generalization

Kembali lagi ke eksperimen Pavlov dengan bel. Diasumsikan bahwa conditioning terhadap anjing itu adalah dengan suara garpu tala. Ketika Garpu tala telah menjadi CS, maka hanya dengan mendengar suara garpu tala saja, anjing tersebut telah meneteskan air liur. Bagaimana ketika Pavlov mengganti suara garpu tala itu tetapi berbeda nada? Apakah anjing itu akan tetap meneteskan air liur atau akan berhenti. Jawabannya, apabila suara baru yang diberikan itu mirip dengan suara yang pertama (CS), maka kemungkinan besar anjing itu akan terus melakukan CR (Salivasi). Hal inilah yang disebut dengan generalisasi, yaitu munculnya CR melalui presentasi dari sebuah CS yang mirip dengan CS yang asli/pertama.

Discrimination

Sedangkan apabila suara garpu tala itu diganti dengan suara yang tidak mirip, maka kemunculan CR akan terhambat atau hilang. Hal ini dimanakan diskriminasi, yaitu aplikasi dari sebuah CS baru yang tidak cukup mirip dari CS yang pertama/asli dan hasilnya adalah kegagalan dalam menimbulkan CR.

Melihat konsep ini, maka kita kembali ke kasus Billy, apabila Billy diberikan bola basket, maka Billy tidak akan membentuk perasaan cemas. Hal ini disebut dengan diskriminasi.

2. Operant Conditioning

Ketika classical conditioning melibatkan perilaku otonom, Perilaku yang disadari dipelajari melalui operant conditioning (Mazur, 1994). Operant conditioning dapat didefinisikan sebagai strategi penghadiran reinforcement dan hukuman dalam rangka untuk meningkatkan perilaku sukarela bersamaan dengan mengurangi perilaku sukarela yang tidak diinginkan.

Thorndike and the Law of Effect

Sekitar 1900, Thorndike mulai meneliti tentang perilaku sukarela dari binatang. Penelitian Thorndike menggunakan kucing. Kucing ini ditempatkan pada sebuah kotak dan di luar kotak diberi ikan. Ketika berusaha keluar, Kucing itu melakukan berbagai cara, sampai pada akhirnya kucing itu menginjak pedal dan akhirnya pintu itu terbuka dan kucing itu mendapatkan ikan. Kemudian, Kucing itu ditaruh lagi di dalam kotak sampai pada akhirnya dapat keluar lagi dan mendapat ikan. Prosedur ini diulang beberapa kali. Setelah beberapa kali percobaan, kucing itu mulai menghabiskan waktu yang lebih sedikit untuk menginjak pedal. Setelah kurang lebih 25 kali percobaan, kucing langsung menuju ke pedal dalam hitungan detik.

Berdasarkan hasil penelitian di atas, Throndike (1905) merumuskan law of effect. Law of effect menyatakan bahwa semua perilaku yang diikuti dengan konsekuensi positif akan cenderung diulang atau dilakukan lagi di masa depan. Begitu pula sebaliknya, ketika sebuah perilaku diikuti dengan konsekuensi positif , maka perilaku tersebut akan cenderung tidak diulang di masa depan. Dalam law of effect yang perlu diperhatikan adalah perilaku itu cenderung untuk diulang atau tidak diulang dan bukan pasti muncul atau hilang. Seperti kucing Thorndike, perilakunya membuka kotak untuk mendapatkan makanan, sehingga kucing tersebut seringkali menekan pedal berulang – ulang untuk mendapatkan reward.

Dasar dari Law of effect adalah sebagai berikut:

RV

C+

C?

C-

Ketika seseorang melakukan Voluntary Response yang ditandai dengan RV. Contohnya misalkan seorang pemain bola voli yang membuat sedikit perubahan dengan cara servenya. Respon ini dapat merujuk ke satu dari 3 konsekuensi. Ketika dengan cara serve yang baru ini, dia mendapatkan poin, maka respon ini mendapatkan konsekuensi positif (C+), sedangkan apabila hasilnya hanya rata – rata(average),ada kemungkinan respon ini akan dirubah atau tetap dipertahankan (C?). Sedangkan bila hasil dari serve yang dilakukan buruk(C-), maka bisa jadi, respon ini tidak akan diulang dan akan berubah.

B.F Skinner

Dari tahun 1930 sampai 1980, penelitian B.F. Skinner sangatlah membantu kita memahami perilaku sukarela dan law of effect (Mazur, 1994). Skinner melakukan sebuah penelitian di laboratorium Unversitas Harvard dan membuat beberapa buku dengan topik operant conditioning. Dengan Skinner yang memegang kendali, Dia dan beberapa psikolog yang berorientasi behavioristik melakukan banyak penelitian pada masa ini.

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> SHAPE \* MERGEFORMAT <![endif]–>

Negative

Positive

Positive Reinforcement

Goal:

Increase Behavior

Response Cost

Goal:

Decrease Behavior

Punishment

Goal:

Decrease Behavior

Negative Reinforcement

Goal:

Increase Behavior

Apply

Remove

<!–[if mso & !supportInlineShapes & supportFields]> <![endif]–>

Mengaplikasikan stimulus yang positif, disebut dengan positive reinforcement, akan meningkatkan perilaku yang diberi reinforcement. Dalam olahraga, ada berbagai macam contoh positive reinforcement. Pujian, trophy, harga diri, kenaikan gaji, kontrak, dll semuanya adalah reinforcement positif yang didesain untuk meningkatkan perilaku positif atlet.

Ketika seseorang mengaplikasikan stimulus negative terhadap seseorang, dia melakukan Punishment, yang mempunyai goal untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapkan. Seperti positive reinforcement, contoh punishment dapat ditemukan dalam dunia olahraga. Larangan bermain, dibangkucadangkan, dimarahi adalah metode – metode yang biasanya dilakukan pelatih untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku negative atau perilaku yang bermasalah dari atletnya.

Response cost adalah penghilangan stimulus positif. Presedur ini mempunyai efek mengurangi perilaku orang yang diberi stimulus. Contohnya seorang atlet professional yang terkenal diberi hak khusus untuk memiliki satu kamar sendiri. Walaupun begitu, atlet ini baru – baru ini menunjukkan berbagai macam perilaku negative yang menurunkan kinerja tim. Misalkan, atlet ini telah mengganggu rekan setimnya, dan menunjukkan sikap apatis. Untuk menghentikan perilaku atlet ini, pelatih kemudian memutuskan untuk menghilangkan hak khususnya untuk mendapatkan kamar sendiri dengan harapan untuk mengurangi perilaku buruk yang dilakukannya.

Pada akhirnya, seorang pelatih dapat mencoba untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan dengan menghilangkan stimulus negatif, dan proses ini disebut negative reinforcement. Lanjut dengan contoh kita yang tadi, mari sekarang kita asumsikan bahwa karena masalah perilakunya, atlet itu diberi hukuman. Hukuman itu mempunyai efek untuk menghentikan perilaku negatifnya. Kemudian, atlet itu juga mulai menunjukkan kemajuan dalam berperilaku positif, sehingga pelatih mencabut hukumannya, dengan pemahaman bahwa hukuman itu akan dicabut selama atlet tersebut tetap menunjukkan perilaku positif. Jadi pelatih menghilangkan stimulus negatif untuk meningkatkan perilaku yang diharapkan.

Principles of Operant Conditioning

Dengan pemahaman tentang dasar – dasar dari operant conditioning, Sekarang kita akan melihat beberapa prinsip dari tipe belajar dan aplikasinya dalam olahraga.

Apparatus

Apparatus biasanya digunakan dalam penelitian operant. Alat ini, sering disebut dengan Skinner Box, yaitu kotak yang berukuran kira – kira 15 X 10 inci. Setiap Skinner box berisi tempat makan yang tersambung dengan makanan yang dihubungkan oleh sebuah tabung. Kotak ini juga mengandung tombol yang dilekatkan di tembok. Ketika tombol ini dipencet, beberapa potong makanan secara otomatis akan meluncur melewati tabung dan mengisi tempat makanan. Makanan ini adalah sebagai reward ketika melakukan perilaku menekan tombol dan hal ini digunakan untuk meneliti reinforcement. Lantai pada kotak itu juga dapat dialiri listrik dengan tegangan kecil untuk melihat efek dari punishment.

Shaping

Jika seorang peneliti menaruh seekor tikus ke dalam skinner box, berapa lama yang dibutuhkan agar tikus itu mulai menunjukkan target perilaku, yaitu menekan tombol? Apabila kita melihat kembali ke teori Thorndike (1905) law of effect. Kita mungkin memprediksi bahwa, tikus itu akan menekan tombol seperti kucing yang membuka kandang. Ternyata hasilnya tidak seperti itu. Tikus itu akan jarang sekali menekan tombol. Terus, bagaimana kita dapat melatih binatang agar dapat melakukan perilaku yang diinginkan? Jawabnya adalah menggunakan shaping. Shaping melibatkan mereinforce perilaku berturut – turut terhadap perilaku yang ingin dicapai. (Mazur, 1994; Schwartz, 1989; Warren, 1983). Dalam prosedur ini, peneliti mereinforce perilaku tikus yang berturut – turut dan mendekati target perilaku. Dengan begitu, peneliti harus mulai memberi reinforcement ketika tikus itu melihat tombol tersebut. Apabila hanya perilaku ini saja yang diinginkan, maka peneliti hanya akan melatih tikus itu untuk melihat ke tombol saja. Padahal target perilaku yang diinginkan adalah menekan tombol. Jadi yang dilakukan peneliti adalah berhenti sejenak dan menunggu hingga tikus semakin mendekat ke tombol dan kemudian memberi reinforcement lagi, sampai pada akhirnya tikus itu menekan tombol tersebut. Setelah tikus itu dapat menekan tombol, maka telah terbentuk suatu pola dan akhirnya tikus itu akan terus menekan tombol itu untuk mendapatkan reward.

Contoh shaping dalam olahraga adalah sebagai berikut. Seorang pelatih baseball, Simon mempunyai seorang pemain (Kurt) yang takut akan bola. Simon ingin mengajarkan pada Kurt agar dia dapat menangkap bola yang dipukul dengan baik. Simon menyadari bahwa bila dia hanya memberikan reward terhadap perilaku menangkap bola saja, maka dia akan mengalami kesulitan untuk membentuk Kurt. Akhirnya, pertama – tama Simon mereinforce Kurt ketika dapat menangkap bola yang bergulir di tanah dan kemudian mereinforce Kurt lagi ketika menangkap bola bergulir yang agak cepat. Selanjutnya, Simon mereinforce Kurt ketika menangkap bola yang dilempar, dan pada akhirnya mereinforce ketika Kurt menangkap bola yang dipukul. Dengan caraini, Kurt secara perlahan – lahan tapi stabil akan dapat memenuhi perilaku yang diinginkan atau target perilaku.

Extinction

Mari kita kembali ke skinner box lagi. Bayangkan seekor tikus yang telah berhasil dibentuk untuk menekan tombol. Apa yang akan terjadi bila peneliti kehabisan makanan dan sebagai hasilnya tikus itu menekan tombol dan tidak mendapatkan reward? Yang sering terjadi adalah tikus itu terus menekan tombol beberapa kali kemudian berhenti. Jadi tikus itu akan menghentikan perilakunya apabila dia tidak mendapatkan reward lagi. Hal ini disebut extinction. Definisi extinction adalah penghilangan respon karena dihilangkannya reward. Untuk tetap mempertahankan perilaku, pelatih harus tetap memberikan reward terhadap perilaku yang ditargetkan. Seperti kasus Kurt tadi, apabila Simon berhenti memberikan reinforcement terhadap Kurt ketika dia dapat menangkap bola yang dipukul, maka Kurt bisa jadi akan berhenti menangkap bola.

Schedules of Reinforcement

Berikut ini adalah beberapa jenis penjadwalan:

Immediate VS Delayed Reinforcement

Banyak penelitian (Schwartz, 1989) mengindikasikan bahwa immediate reinforcement (reinforcement yang diberikan begitu perilaku yang diharapkan muncul) lebih efektif untuk mengajarkan suatu perilaku daripada delayed reinforcement (reinforcement yang diberikan setelah beberapa waktu).

Contohnya dalam skinner box, bila reward baru diberikan setelah 30 detik, maka tikus itu tidak akan memunculkan perilaku yang diharapkan dengan begitu sering. Begitu juga pada kasus Kurt, apabila Simon si pelatih memberi jarak antara pemberian reinforcement kepada Kurt, maka Kurt juga akan lebih susah untuk memunculkan perilaku yang diharapkan.

Continuous VS Partial Reinforcement

Penelitian lain mempelajari tentang konsekuensi reinforcement secara terus menerus dan terpisah. Continuous Reinforcement melibatkan pemberian reward setiap kali perilaku yang diharapkan muncul. Contohnya adalah tikus yang setiap kali menekan tombol akan mendapatkan makanan. Partial Reinforcement melibatkan pemberian reward hanya pada setelah beberapa kali percobaan. Memberi anak kecil reward setiap 3 kali dia melakukan perilaku yang benar adalah contoh dari partial reinforcement.

Penelitian telah menemukan bahwa perilaku yang diberi Partial schedules lebih sulit untuk dihilangkan daripada yang diberi continuous schedules (Mazur, 1994; Warren, 1983). Misalkan ada 2 orang anak pemain bola yang diajarkan untuk melakukan passing dengan tepat dengan menggunakan verbal reinforcement (pujian). Satu anak dilatih dengan menggunakan continuous reinforcement dan anak yang satu dilatih dengan menggunakan partial reinforcement, yaitu setiap 5 kali anak tersebut melakukan dengan benar, baru diberi pujian. Apabila pelatih yang bertanggung jawab untuk memberikan reinforcement tidak masuk/absent, maka anak yang diberi continuous reinforcement akan dengan mudah tidak melakukan cara passing yang benar lagi, sedangkan pada anak yang diberi partial reinforcement, dia akan terus melakukan passing yang benar tersebut. Anak ini menyadari bahwa dia tidak mendapatkan reinforcement setiap kali melakukan dengan benar dan pada akhirnya tidak mengharapkan reinforcement yang konstan.

Ratio Schedules of Reinforcement

Ratio reinforcement berbicara tentang jumlah respon yang diperlukan untuk mendapatkan reward. Fixed Ratio terjadi ketika reward diberikan setiap berapa kali perilaku yang diinginkan muncul (dalam jumlah yang tetap). Contohnya anak yang berlatih passing tadi diberikan reward setiap kali dia dapat melakukan passing yang benar 5 kali.

Variable Ratio juga memberikan reward, tetapi pemberian rewardnya dengan melihat rata – rata dari jumlah respon yang diinginkan. Contohnya VR5 akan memberikan respon setiap kali subjek melakukan rata – rata 5 kali respon yang diinginkan.Walaupun begitu, subjek mungkin akan diberi reward setelah respon ketiga, ketujuh, keenam, keempat atau sebagainya. Seperti tikus yang akan mendapatkan makanan ketika dia telah melakukan respon dengan benar rata – rata 5 kali.

Superstition

Di awal telah disebutkan oleh Thorndike (1905) tentang law of effect, di mana perilaku yang diikuti dengan konsekuensi positif mempunyai kecenderungan untuk diulang. Catat bahwa proposisi ini menyatakan bahwa konsekuensi positif mengikuti perilaku. Jadi konsekuensi ini tidak berdasarkan perilaku. Jadi selama konsekuensi positif mengikuti perilaku, perilaku akan bertambah, walaupun bila perilaku itu sendiri tidak menyebabkan konsekuensi positif secara langsung. Hal ini memainkan peran vital dalam menjelaskan perilaku tahayul. Hal yang biasa terjadi di olahraga.

Apa yang kira – kira terjadi ketika seekor burung dara ditempatkan di skinner box dan makanan burung diberikan setiap 15 detik sekali. Jadi, tanpa melihat perilaku apa yang ditampilkan oleh burung tersebut, setiap 15 detik burung itu akan mendapat reward. Tipe reinforcement ini disebut noncontingent reinforcement, yaitu reinforcement tidak tergantung pada perilaku spesifik apapun. Sebaliknya, contingent reinforcement muncul ketika pemberian reward didasarkan pada perilaku yang spesifik. Contohnya adalah tikus yang akan diberi reward ketika memencet tombol. Ternyata pada saat skinner melakukan eksperimen, terjadilah sesuatu pada burung dara. Setiap sebelum pemberian makanan, skinner melihat bahwa burung tersebut menunjukkan perilaku yang spesifik. Ada yang berkicau, ada yang berputar – putar, dll. Kenapa burung ini melakukan hal – hal tersebut? Ternyata hal ini disebabkan karena burung – burung tersebut percaya bahwa reward yang diberikan adalah berdasarkan pada perilaku yang dilakukannya. Sebagai hasilnya, burung – burung itu membentuk suatu belief bahwa reward yang didapat berdasarkan pada perilaku yang spesifik. Padahal reward yang diberikan bersifat noncontingency. Hal inilah yang disebut dengan Superstition.

Dalam dunia olahraga, contoh perilaku tahayul sangatlah banyak. Atlet, pelatih, ataupun penonton mencapatkan konsekuensi positif setelah melakukan suatu perilaku dan mereka cenderung mengulang perilaku tersebut (Neil, 1982) dan peningkatan dalam perilaku tahayul sepertinya berhubungan dengan peningkatan keterlibatan dalam olahraga(Neil, Anderson, & Sheppard, 1981). Contohnya adalah tentang nomor punggung. Rickey Henderson, seorang pemain baseball professional percaya bahwa dia hanya bisa tampil baik ketika mengenakan no punggung 24. Ketika Henderson pindah tim, ternyata no punggung 24 telah dipakai oleh anggota tim yang lain. Henderson pun mencoba untuk bermain dengan memakai no punggung lain, yaitu 14, tetapi setelah beberapa pertandingan, Henderson mengeluh bahwa dia tidak dapat bermain baik tanpa nomor lamanya, yaitu 24. Tahayul Henderson sangatlah hebat sehingga dia membayar anggota timnya yang memakai no 24 sebeser $25.000 agar dia bisa memakai no 24. Perilaku – perilaku tahayul lain juga ditemukan dalam berbagai jenis olahraga, seperti keinginan untuk berada sendirian sebelum bertanding dan membawa jimat keberuntungan seperti koin (Buhrmann & Zaugg, 1981; Neil, 1982).

Perilaku tahayul yang lain ada yang berdasarkan pada spesifikasi olahraganya. Contohnya seperti dalam basket, perilaku seperti membuat tembakan terakhir dalam pemanasan (Gregory & Petrie, 1975), melakukan tembakan bayangan sebelum menembak free throw (Lobmeyer & Wasserman, 1986), dan ritual menggigit – gigit permen karet (Buhrmann & Zaugg, 1981) sangatlah sering ditemukan.

Perilaku tahayul lainnya didasarkan pada atletnya. Becker (1975) membuat sebuah list tentang perilaku tahayul, termasuk perilaku seorang pemain sepakbola yang merasa dia butuh untuk memakai warna kostum tim lawan di kaos kakinya. Contoh lainnya adalah pada Wade Boggs. Wade Boggs akan makan ayam sebelum pertandingan.

Hbungan antara perilaku tahayul atlet dan performancenya sebaiknya dibahas. Jika Boggs ditanya apakah dia mendapat kekuatan spesial dengan memakan ayam, dia pasti menjawab tidak.Apakah ini berarti bahwa perilaku tahayul tidak membawa dampak apapun terhadap performance? Dan bila Boggs tidak makan ayam sebelum pertandingan, apakah performancenya akan menurun? Sebagai faktanya, jawabannya adalah ya. Walaupun perilaku tahayul ini tidak membawa dampak fisik apapun, tetapi membawa dampak psikologis. Jadi walaupun Boggs menyatakan bahwa dengan memakan ayam tidak membuat dirinya bermain lebih baik, tetapi apabila Boggs tidak memakan ayam sebelum pertandingan, maka performancenya bisa menurun. Perilaku tahayul yang sering dilakukan ini cenderung menurunkan kecemasan atlet dan jika perilaku tahayul ini tidak dilakukan, maka performancenya akan menurun.

3. Observational Learning (Modelling)

Mazur (1994) menyatakan dengan ringkas dan jelas ketika dia menulis, “Biarkan tidak ada kesalahan tentang ini: Banyak sekali porsi dalam pembelajaran manusia yang terjadi, tidak melalui classical conditioning atau sebagai hasil dari reinforcement atau punishment, tetapi melalui observasi”(p. 294). Observational Learning adalah pembelajaran perilaku secara vikarius melalui imitasi dan modeling.

Bandura’s Model of Observational Learning

Peneliti tentang belajar dengan observasi ini adalah Albert Bandura. Bandura telah menulis secara intensif tentang topik ini sejak 1960an (Bandura 1969), dan melanjutkan untuk menyempurnakan teorinya (Bandura, 1986). Bandura (1986) menyatakan bahwa dibutuhkan 4 langkah dalam observational learning agar dapat terjadi. Langkah pertama adalah attention, yaitu perhatian seseorang harus diarahkan pada model. Contohnya, jika seorang pemain basket SMU ingin memodel cara dunk Michael Jordan, maka perhatiannya harus diarahkan pada Jordan ketika Jordan melakukan dunk. Apabila perhatiannya teralihkan pada saat itu, maka dia tidak akan bisa mengulang perilaku Jordan. Karena pelatih sering menjadi perhatian para pemainnya, maka pelatih harus berhati – hati agar atlet dapat memodel perilaku yang tepat (Anshel, 1994).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat karakteristik seperti apa saja yang menjadi pusat perhatian atau fokus yang membuat perhatian ditujukan kepada mereka. Karakteristik yang ditemukan adalah Nurturing(Bandura & Hutson, 1961), affectionate (Zimmerman & Koussa, 1979), prestigious (Mausner, 1953), competent (baron, 1970), Sincere (Klass, 1979), dan high status (Landers & Landers, 1973). Karakteristik – karakteristik inilah yang mendapatkan porsi besar dalam attention. Karakteristik – karakteristik ini meningkatkan efektivitas dari proses modeling.

Walaupun begitu, penelitian akhir – akhir ini tentang motor learning telah menantang asumsi bahwa karakteristik menungkatkan perhatian terhadap target. McCullagh (1986) meminta subjek untuk melihat seorang model yang menunjukkan gerakan motorik dan memanipulasi status model (tinggi atau rendah). Sebagai tambahan, dia memanipulasi informasi tentang status model. Beberapa subjek mendapatkan informasi tentang status subjek ketika fase attention, sedangkan subjek lainnya mendapatkan informasi setelah fase attention. Walaupun McCullagh menemukan bahwa model dengan status yang tinggi mempunyai performance yang lebih baik daripada yang berstatus rendah, tetapi timing dari efek informasi mengenai status model yang diberikan tidak ditemukan. Jadi, tidak masalah bila subjek diberi informasi mengenai model ketika atau setelah fase attention. McCullagh juga menambahkan, walaupun status model memang penting untuk observational learning, efek status tersebut mungkin bukan karena meningkatnya perhatian.

Langkah kedua dalam observational learning adalah Memory (bandura, 1986). Walaupun individu mengarahkan perhatiannya pada model ketika model melakukan perilaku, tetapi tanpa kemampuan untuk menyimpannya dalam memori, hanya kemungkinan kecil perilaku yang diamati itu dapat diimitasi. Hal ini dikarenakan kesempatan untuk memodel perilaku tersebut seringkali terjadi pada beberapa saat berikutnya. Sebagai contoh, mari kita lihat pemain basket yang ingin mengimitasi cara dunk Jordan. Dia pasti melihat dunk Jordan di televisi, video, atau di pertandingan sungguhan. Tentu saja, untuk melakukan dunk yang sama, dia harus pergi ke lapanga basket terlebih dahulu, kemudian baru mengimitasi perilaku tersebut. Di sinilah memori berperan. Apabila informasi yang diterima tidak dapat disimpan dalam memori, maka proses imitasi tidak akan dapat dilakukan. McCullagh (1993) mendeskripsikan 4 strategi encoding dan pengulangan yang mempengaruhi memori , yaitu: Verbalization (pengulangan verbal), Imagery (mengulang melalui bayangan kognitif), Organizational Strategies (Frekuensi dan tipe demonstrasi) dan Physical practice (latihan fisik) dapat meningkatkan memori pada perilaku yang ingin dimodel.

Langkah ketiga adalah motor reproduction. 2 langkah pertama yang disebutkan bermain di ranah kognitif kita, sedangkan pada langkah ini, lebih pada perilaku yang ditampilkan. Jika seorang individu tidak mempunyai kemampuan fisik, intelektual, dll untuk mereproduksi perilaku, maka modeling tidak dapat terjadi. Sebagai contohnya, meskipun pemain basket yang ingin melakukan dunk seperti Jordan, dia telah melihat Jordan melakukan dunk, kemudian juga memasukkannya ke dalam memorinya, tetapi apabila dia tidak memiliki lompatan yang cukup tinggi, maka dia tidak akan bisa melakukan dunk.

Akhirnya, apabila pemain tersebut mengarahkan perhatiannya pada Jordan, mengingat perilaku Jordan, dan memiliki kemampuan fisik, intelektual, dll untuk menunjukkan perilaku, perilaku yang dimodel belum tentu diproduksi. Hal ini karena 3 langkah pertama secara sederhana menyediakan seseorang dengan kapasitas untuk memodel perilaku (Mazur, 1994). Langkah terakhir, yaitu Motivation, dapat melampaui ketiga langkah pertama. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa individu harus dimotivasi untuk menunjukkan perilaku yang dipelajarinya. Ini adalah salah satu alasan mengapa motivasi sangat penting dalam olahraga.

Other Factors in Observational Learning

Penelitian pada observational learning telah menemukan faktor tambahan yang mempengaruhi proses modeling. Mazur (1994) mendeskripsikan faktor – faktor ini sebagai karakterisik dari pelajar dan karakteristik dari situasi. Dilihat dari karakteristik dari pelajar, individu yang kurang yakin atau kurang percaya diri pada kemampuannya sendiri akan lebih sering mengimitasi perilaku model (Kanareff & Lanzetta, 1960; Thelen, Dollinger, & Kirkland, 1979). Selain itu, atlet dengan kemampuan yang lebih rendah dan atlet yang meragukan kemampuannya lebih sering mengimitasi atlet lain dan pelatih.

Berdasarkan karakteristik dari situasi, Mazur (1994) mendaftar situasi yang ambigu (Jacubczak & Walters, 1959) atau terlibat suatu tugas yang sulit (Harnick, 1978) sebagai faktor situasional yang mempengaruhi perilaku modeling. Atlet yang kurang mengerti apa yang mereka butuhkan dan atlet yang diminta untuk menunjukkan perilaku yang cukup sulit biasanya bergantung pada modeling untuk memfasilitasi pembelajaran mereka. McCullagh (993) menyatakan bahwa faktor situasional lain, verbal presentations, dapat juga meningkatkan pembelajaran melalui observasi. Menyediakan tanda – tanda verbal kepada atlet bersamaan dengan seorang model visual bisa cukup efektif untuk mengajarkan perilaku yang baru.

The Application of The Psychology of Learning to Sport Setting

Dalam dunia olahraga, penerapan prinsip psikologi belajar diaplikasikan lewat effective behavioral coaching (EBC). EBC adalah aplikasi dari psikologi belajar dalam setting olahraga untuk mengajar dan melatih atlet agar menjadi lebih baik. EBC biasanya mengandung prinsip operan (Reinforcement and Punishment), dan juga teknik modeling (Allison & Allyon, 1980). Begitu juga dengan classical conditioning, teori ini mempunyai keterbatasan dalam olahraga karena sifatnya yang tidak disadari, dan reflex. Dalam olahraga, kebanyakan respon adalah disadari dan berada di bawah kendali pemain atau pelatih atau supporter.

Martin dan Hryciako (1983; liahat juga Donahue, Gillis, & King, 1980) menyatakan bahwa sebuah langkah awal dari penggunaan EBC adalah untuk mentarget suatu perilaku untuk ditingkatkan atau dikurangi dan menyalurkan informasi ini kepada pemain. Seperti yang Warren (1983) nyatakan, untuk menjadi sukses, program reinforcement “harus dimulai dengan pemahaman pelatih dan pemain atas perilaku apa yang diinginkan”.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat keefektifan Behavioral coaching techniques. EBC dikatakan dapat meningkatkan performance atlet dalam olahraga renang (Koop & Martin, 1983; McKenzie & Rushal, 1974; Rushal & Siedentop, 1972), basketball (Anshel, 1994; Siedentop, 1980), physical education classes (McKenzie, 1980), baseball (Anshel, 1994), football (allisan & Allyon, 1980; Siedentop, 1980), dan tennis (Buzas & Allyon, 1981), dan juga perilaku dari pelatih (Smith, Smoll, & Curtis, 1978); Smol et al., 1993); Rushall and Smith, 1979; Trudel & Gilbert, 1995; Ziegler, 1980a).

Untuk melihat bagaimana program ini berjalan, mari kita lihat 2 penelitian di atas. Artikel Siedentop (1980) adalah kandidat bagus untuk penelitian lebih lanjut karena mendeskripsikan bagaimana seorang pelatih sepak bola dan pelatih basket menggunakan prinsip operan dalam timnya. Pelatih sepak bola SMU ini mulai dengan menentukan perilaku spesifik yang hendak ditingkatkan dan dikurangi. Pelatih ini ingin meningkatkan kecepatan bermain dan kekonsistenan dalam berlatih, mengurangi penalty ketika bermain, dan mengurangi perilaku bermasalah di sekolah. Untuk itu, pelatih membutuhkan reinforcement yang diinginkan oleh semua anggota tim dan akhirnya memutuskan untuk memberikan reward kepada pemain dengan menjadi starter dalam pertandingan selanjutnya. Pemain mendapatkan point dari setiap perilaku yang sesuai dengan target perilaku. Pemain yang mendapatkan semua poin yang dapat dikumpulkan minggu itu ditempatkan sebagai pemain yang potensial dan memiliki kemungkinan untuk menjadi kapten pada pertandingan selanjutnya.

Pelatih basket SMP ingin meningkatkan usaha pemainya dalam berlatih. Pelatih ini memberikan point ketika berlatih untuk pemain yang melakukan latihan rutin dan menunjukkan sikap dan perilaku “Team Player”. Point tersebut dijumlahkan dan peman – pemain yang mencapai point tertentu akan diberi reward dengan dimasukkan namanya dalam “Eagle Effort Board” yang dipasang pada jalan menuju Gym. Setelah program ini diimplementasikan, pemain lebih banyak melakukan lay-up, Jump shoots, dan free throw, lebih bermain dengan cepat dan sedikit menunjukkan sikap buruk.

Penelitian Ziegler (1980a) juga sangat menarik karena penelitian ini menyediakan sebuah contoh tentang penggunaan EBC pada perilaku pelatih. Ziegler mempelajari efek dari mereinforce perilaku pelatih voli perempuan. Perilaku pelatih direkam ketika berlatih dalam musim itu, dan pelatih tersebut direinforce dengan pujian ketika satu dari beberapa target perilaku muncul (diskusi, interaksi positif dengan pemain, interaksi positif dan pemberian feedback pada pemain). Hasil mengatakan bahwa semua dari tiga target perilaku menunjukkan peningkatan ketika pelatih direinforce karena perilaku yang ditampilkannya.

Length and Spacing of Practice Session

Penelitian tentang EBC dan psikologi belajar telah menambahkan informasi berharga mengenai lama dan jarak dalam penjadwalan latihan. Jadwal latihan dikategorikan menjadi 2 kategori, yaitu: Distributed Practice, yaitu jadwal latihan yang memiliki jangka waktu yang lama dan waktu istirahat yang lama, sedangkan Massed Practice melibatkan tim berlatih dalam beberapa kali dalam jangka waktu yang pendek. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan manakah antara distributed dan massed practice yang lebih efektif untuk memfasilitasi pembelajaran. Sanderson (1983) berargumentasi bahwa hasil terbaik dapat diperoleh dengan menggunakan sesuatu di antara kedua tipe tersebut. Terlalu banyak atau terlalu sedikit istirahat dapat merusak kemampuan belajar. Jika kedua tipe dibandingkan secara langsung, penelitian telah menemukan bahwa periode istirahat yang lama antar latihan (distributed practice) cenderung lebih baik daripada periode tanpa istirahat atau periode istirahat yang pendek (massed practice, Dore & Hilgard, 1937; Lee & Genovese, 1988; Mazur, 1994). Jika terlalu banyak usaha dilakukan dalam satu sesi, kelelahan dapat terjadi, dan dapat menurunkan performance (Chamberlin & Lee, 1993).

Yang harus dicatat, bahwa pertanyaan tentang apakah tipe latihan yang paling baik tidak dapat dijawab (Mazur, 1994). Faktanya, Chamberlin dan Lee(1993, p. 220) menyatakan bahwa, “tidak ada kesimpulan yang absolute” mengenai lama dan distribusi dari jadwal latihan. Satu masalah dalam penelitian di area ini adalah masa percobaan (latihan) dan periode istirahat terhitung dalam detik (Bourne & Archer, 1956; Chamberlin & Lee, 1993; Noble, Salazar, Skelley, & Wilkerson, 1979).

Feedback, Knowledge of Results, and Knowledge of Performance

Penelitian pada psikologi belajar dan EBC menemukan bahwa motor learning difasilitasi dengan memberikan feedback kepada individu yang sedang belajar menyangkut perkembangannya dalam mempelajari suatu tugas, terutama ketika feedback yang diberikan tepat dan spesifik (Glencross, 1992; Magill & Wood, 1986). Feedback tidak perlu diberikan pada setiap kali latihan untuk mendapatkan keuntungan dari feedback tersebut.Magill menyatakan bahwa sebaiknya pelatih menyadari bahwa individu yang di feedback tidak akan merasa tersakiti karena pelatih melakukan feedback berkali – kali. Magill (1993) juga menyatakan bahwa feedback membawa 2 dampak positif bagi atlet. Pertama, feedback menyediakan informasi mengenai kesuksesan atau kesalahan dari suatu perilaku dan kedua, feedback dapat memotivasi individu untuk mencapai tujuannya. Black dan Weiss (1992) menyatakan bahwa feedback juga berguna bagi atlet karena atlet merespon cukup baik tentang informasi seperti itu, tanpa melihat apakah feedback itu berisi kesuksesan atau kesalahan. Peneliti ini menemukan bahwa kepercayaan bahwa pelatih memberikan feedback yang bermutu berhubungan dengan tingkat kesenangan, kompetensi dan sukses yang dirasakan.

Dua tipe feedback yang penting bagi pembelajaran adalah knowledge of results dan knowledge of performance. Knowledge of Results (KR) melibatkan penyediaan informasi kepada pelajar mengenai keakuratan perilakunya (Mazur, 1994). Thomas et al (1993) menyatakan KR sebagai “Outcome information” (p. 93), contohnya memberikan informasi tentang seberapa jauh bola dilempar atau seberapa tinggi seseorang melompat . Menurut observational learning, mendapatkan KR dari perilaku model dapat menghasilkan perilaku yang akurat apabila mereka diberi informasi mengenai keakuratan performance model. Knowledge of Performance (KP) melibatkan pemberian informasi menyangkut satu atau lebih bagian dari proses gerakan yang melibatkan hasil. Contohnya adalah memberikan informasi mengenai bagaimana footwork, cara memegang bola, posisi tubuhnya. Menyediakan informasi mengenai KP dan KR dapat menjadi strategi feedback yang paling efektif (Schmidt & Young, 1991).

The Use of Punishment in Sport

Walaupun punishment dapat menjadi sangat sukses untuk mengajarkan dan merubah perilaku (Schwartz, 1989), Hal itu juga dapat menimbulkan beberapa masalah bagi pelatih yang menggunakan strategi ini. Sebagai hasilnya, mereinforce perilaku yang diinginkan lebih dipilih daripada menghukum perilaku yang tidak diinginkan. Faktanya, bahkan Thorndike pun menyempurnakan teorinya yang menyatakan kekurangan dari punishment (Thorndike, 1931). Penelitian dalam psikologi belajar dan psikologi olahraga telah mengidentifikasikan beberapa masalah berkaitan dengan punishment yang menjadikan punishment lebih tidak diminati.

Pertama, punishment seringkali memiliki kekurangan dalam intensitas (Schwartz, 1989). Untuk menjadi efektif, punishment harus kuat (Azrin & Holz, 1966). Jika tidak, efeknya hanya sementara, dan hanya berlaku selama hukuman itu berlaku. Memilih level intensitas yang tepat adalah tugas yang sulit. Dalam olahraga, hukuman seringkali berbentuk teguran keras secara verbal karena hukuman fisik dianggap tidak dapat diterima (Warren, 1983). Hasilnya, hukuman bisa jadi kurang kuat untuk mengubah perilaku.

Kedua, perilaku yang tidak diinginkan dan hukuman yang diberikan biasanya dipisahkan oleh suatu jangka waktu tertentu (Azrin & Holz, 1966; Schwartz, 1989). Ingat, baik reinforcement maupun hukuman harus sesegera mungkin agar efektif. Contohnya seorang pemain sepakbola yang dibangkucadangkan pada game hari jumat karena malas berlatih pada hari selasa. Akan ada jeda 3 hari antara perilaku dan hukuman, dan sebagai hasilnya, hukuman itu akan kehilangan sebagian besar keefektifannya.

Ketiga, Hukuman tidak memberitahukan individu apa yang harusnya dilakukan, tetapi hanya mengatakan apa yang tidak sebaiknya dilakukan (Mazur, 1994; Schwartz, 1989; Skinner, 1971; Warren, 1983). Seorang pelatih American football mungkin berteriak pada lineman nya karena melakukan block yang buruk “Kok bisa kamu melakukan hal itu?” atau “Aku tidak mau melihat kamu melakukan hal itu lagi”. Dengan kata – kata tersebut, pemain tidak tahu perilaku optimal apa yang diharapkan oleh pelatih dan pemain tidak dapat meingkatkan skillnya. Pelatih harusnya selain memberikan teguran juga memberikan apa yang sebaiknya dilakukan.

Yang terakhir, masalah lain dengan penggunaan hukuman termasuk: ketidakmampuan untuk menghukum setiap kali perilaku itu muncul (Azrin & Holz, 1966), Kesalahan untuk menerangkan alasan di balik hukuman (Baron & Greenberg, 1990), emosi negatif dan agresi yang dapat dihasilkan oleh hukuman (Azrin & Holz, 1966; Mazur, 1994), dan bagi beberapa pemain, perhatian yang dibarengkan dengan hukuman bisa cukup memberikan reward bagi dirinya. Karena masalah – masalah dengan penggunaan hukuman, banyak psikolog olahraga yang melihat reinforcement sebagai hal yang lebih baik daripada hukuman (Buzas & Ayllon, 1981; LeUnes & Nation, 1989). Faktanya, Anshel (1994) berani mengatakan bahwa hukuman dalam olahraga adalah hal yang tidak benar dalam memodifikasi perilaku (p. 188)

Player Attribution in Sport

Posted in Psikologi Olahraga with tags , on August 24, 2008 by sl1m1987

Dalam olahraga, salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan adalah, mengapa wartawan, pemain, dan fans selalu tertarik untuk mengetahui sebab para pemain dan tim-tim bertindak dan berperilaku tertentu. Sebagai contoh, saat Chris Webber memberi timnya peluang kejuaraan bola basket kampus dengan meminta time out dengan ilegal, semua orang ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu. Apakah dia lupa batas jumlah time out yang telah digunakan oleh timnya tersebut? Apakah dia mengalami kesalahpahaman dengan rekan se-timnya yang berteriak dari bangku penonton? Pertanyaan “mengapa” ini menunjukkan pentingnya proses atribusi dalam olahraga. Atribusi adalah estimasi atau perkiraan penyebab perilaku yang muncul, baik itu perilaku kita sendiri atau perilaku orang lain.

Expected vs Unexpected dan Succesful vs Unsuccessful Outcomes

Penelitian – penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hasil yang negatif dan tidak diharapkan (negative and unexpected) merujuk pada atribusi. Contohnya adalah atlet yang kalah ketika mereka mempunyai ekspektasi bahwa mereka akan menang, begitu juga dengan atlet yang merasa kalah, tetapi akhirnya menang. Kedua hal ini dapat membentuk pola – pola atribusi untuk menjelaskan hasil yang telah dicapai.

Walaupun begitu, Kanazawa (1992) mengkritik pemikiran ini karena banyak studi yang telah menggabungkan antara expectancy (harapan) dan success manipulations (manipulasi sukses) yang menyebutkan bahwa, dua variabel tersebut saling tergantung satu sama lain. Contohnya, jika seorang atlet percaya bahwa dia akan memenangkan sebuah kompetisi, tetapi kemudian kalah, atlet ini akan mengalami hasil yang negatif dan tidak diharapkan (negative and unexpected outcome). Walaupun kelihatannya terlihat bahwa kedua faktor tersebut sangat penting, tetapi mungkin hanya satu variabel saja yang menjadi penyebabnya. Kanazawa percaya bila success dan expectancy outcomes diteliti secara independent, hanya expectancy outcomes lebih merujuk pada pernyataan atribusi yang lebih banyak daripada unexpected outcomes. Walaupun begitu, seperti yang telah diprediksikan, tidak ada perbedaan dalam jumlah atribusi yang terbentuk dalam successful dan unsuccessful setting. Berdasarkan penemuan ini, seorang atlet yang mempunyai ekspektasi akan kalah dan atlet kalah yang berharap untuk menang untuk menciptakan lebih banyak penjelasan atribusional untuk menjelaskan hasil yang mereka dapat. Di samping itu, seorang atlet mempunyai pandangan atau ekspektasi bahwa dia akan kalah dan memang kalah, dia diprediksikan tidak akan menciptakan berbagai alasan dari hasil yang dia dapat.

Attributional Dimensions

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi dan memahami berbagai dimensi yang terlibat di dalam proses atribusi. Beberapa dimensi atribusi yang telah diidentifikasi:

The Locus of Causality Dimension and Kelley’s Covariation Model

Ketika beberapa dimensi atribusi yang berbeda telah ditemukan, perhatian yang paling besar terdapat pada locus of causality dimension. Locus of causality dimension menyebutkan bahwa believes seseorang dapat menyebabkan seseorang berpikir bahwa penyebab suatu perilaku berasal dari sumber eksternal atau internal.

Atribusi Internal merefleksikan kepercayaan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh individu itu sendiri. Contohnya: ketika seorang pemain bulutangkis memenangkan sebuah pertandingan atau kompetisi, dia percaya bahwa kemenangannya disebabkan oleh kemampuannya dan kerja kerasnya.

Atribusi Eksternal merefleksikan kepercayaan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh lingkungan. Contohnya: ketika seorang pemain bulutangkis menjuarai sebuah kompetisi, dia merasa bahwa hal itu dikarenakan takdir.

Satu contoh terakhir untuk membedakan antara atribusi eksternal dan atribusi internal adalah sebagai berikut:

Denis adalah seorang pemain baseball, ketika di inning terakhir, Denis diminta memukul. Kemudian hasil pukulannya pun menjadi Home Run dan membawa timnya ke kemenangan. Ketika pelatih Denis ditanya, apa yang membuat Denis bisa seperti itu, dia menjawab bahwa itu karena Denis mempunyai tangan yang hebat, koordinasi tangan-mata yang baik, dan kekuatan tubuh bagian atas. Ketika pelatih tim lawan ditanyai hal yang sama, dia menjawab bahwa Denis bisa memukul seperti itu karena faktor keberuntungan.

Dari cerita di atas, kita bisa melihat bahwa pelatih tim Denis melakukan atribusi internal dan pelatih tim lawan melakukan atribusi eksternal.

Sekarang yang menjadi pernyataan adalah apa yang menentukan seseorang dalam membentuk atribusi internal atau eksternal. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan Covariation Theory, yaitu ketika individu mencoba untuk menentukan locus of causality dari sebuah perilaku, mereka mencoba untuk mendapatkan informasi tentang 3 aspek, yaitu: Consistency, Distinctiveness, dan Consensus.

o Consistency menunjuk pada frekuensi munculnya suatu perilaku dalam situasi tertentu.

o Distinctiveness menunjuk pada derajat pemunculan suatu perilaku dalam situasi lainnya.

o Consensus menunjuk pada jumlah individu lain yang berperilaku sama dalam situasi tertentu.

Contohnya, Jennifer seorang pemain bola voli, baru saja dikeluarkan dari pertandingan karena mengumpat pada wasit. Menurut Kelley, kita harus mencari ketiga aspek tersebut agar dapat mengetahui apakah perilakunya termasuk atribusi eksternal atau internal. Misalkan, menurut pengalaman sampai saat ini, Jennifer biasanya berperilaku seperti ini dalam situasi yang demikian. Dengan kata lain, Jennifer secara konsisten sering mengumpat wasit ketika permaianan tidak sesuai dengan persepsinya. Yang kedua, kita melihat Jennifer dalam setting yang lain, misalkan dalam permainan basket, Jennifer juga cukup agresif, sehingga sering mengumpat wasit juga. Yang terakhir, kita harus melihat apakah pemain lain, selain Jennifer juga melakukan perilaku agresif yang sama ketika itu dan ternyata hanya Jennifer yang berperilaku agresif seperti itu.

Dari beberapa hal di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku Jennifer cenderung konsisten, perilaku yang sama juga muncul dalam kejadian lain, dan tidak ada consensus karena tidak ada anggota tim lainnya yang berperilaku seperti Jennifer. Jadi yang dilakukan Jennifer adalah Internal Attribution.

The Stability and Controllability Dimensions

Walaupun Weiner (1979 ,1980a) meyakini bahwa internal/eksternal locus of causality dimension itu penting, tetapi untuk mengerti proses atribusi secara menyeluruh, dimensi lain harus dipertimbangkan juga. Weiner merasa bahwa atribusi terbentuk dengan 2 dimensi tambahan, yaitu stability and controllability.

The stability attributional dimension menceritakan tentang bagaimana believes seseorang merupakan penyebab seseorang melakukan sebuah perilaku adalah karena ha; – hal yang bervariasi.

Stable attributions merefleksikan bahwa sebuah perilaku dikarenakan oleh personality traits atau lingkungan yang permanent atau mendekati permanent. Contohnya, seorang atlet dapat menyatakan kesuksesannya dalam mengerjakan sebuah tugas karena kemampuannya atau karena kemudahan tugas itu.

Unstable attributions merefleksikan bahwa sebuah perilaku disebabkan oleh traits yang variatif atau lingkungan. Contohnya, seorang atlet dapat merasa bahwa kesuksesannya dikarenakan kemampuannya atau suasana hatinya.

Dimensi ketiga yang didiskusikan Weiner (1979, 1980a), yaitu the controllability attributional dimension, menyoroti individu yang mempercayai bahwa penyebab perilaku ada di bawah kendali sukarela dari pelaku.

Controllable attributions menyoroti kepercayaan bahwa sebuah perilaku berada di bawah kendali pelaku.

Uncontrollable attributions menyoroti kepercayaan bahwa sebuah perilaku berada di luar control pelaku. Contohnya, karena atlet dapat mengontrol usahanya, atribusi seperti “Dia berhasil karena dia telah melakukan usaha yang sangat keras” adalah controllable attributions. Sedangkan, atribusi seperti “dia berhasil karena dia mempunyai kemampuan bakat alam yang tinggi” adalah uncontrollable attributions.

Dengan mengkombinasikan 3 dimensi atribusi Weiner (locus of causality, stability, and controllability), kita dapat membuat prediksi tentang tipe atribusi yang diharapkan dapat berhasil atau tidak berhasil. Setiap kombinasi yang berbeda menghasilkan atribusi yang berbeda.

Controllable

Uncontrollable

Stable

Unstable

Stable

Unstable

Internal

Stable effort of self

Unstable effort of self

Ability of self

Fatigue, mood, and fluctuations in skill of self

External

Stable effort of others

Unstable effort of others

Ability of others, task difficulty

Fatigue, mood, and fluctuations in skill of others, luck

Attributional Errors

The fundamental Attribution Error

Penelitian telah menemukan bahwa individu sering melakukan kesalahan atribusi (Jones, 1979; Ross, 1977; Snyder & Jones, 1974). Fundamental attribution error adalah sebuah bias, yaitu pola atribusi yang mana seseorang terlalu menekankan penyebab internal dan terlalu tidak menekankan penyebab eksternal. Contohnya, sebuah tim sedang berkumpul mendiskusikan alasan mengapa salah satu anggota tim melakukan perilaku yang kurang baik. Berdasarkan fundamental attribution error, kita akan melihat bahwa hal yang menyebabkan perilaku tersebut adalah penyebab internal, seperti kemalasan, atau kekuarangan motivasi, daripada penyebab eksternal seperti masalah ketika perjalanan, atau lalu lintas yang padat.

Penelitian telah menemukan 2 alasan mengapa sampai terjadi fundamental attribution error. Alasan pertama adalah karena masalah fokus perhatian. Ketika individu melihat orang lain melakukan sebuah perilaku, fokus perhatian mereka biasanya secara dangkal ditujukan pada pelakunya daripada keadaan sekitar atau lingkungan. Sebagai hasilnya, mereka cenderung percaya bahwa orang tersebutlah yang menyebabkan perilaku tersebut (Storms, 1973).

Faktor kedua melibatkan usaha yang diperlukan untuk membentuk atribusi internal dan atribusi eksternal. Faktor ini adalah sebuah komponen utama dari three-stage model atribusi yang dikemukakan oleh Gilbert dan kolega (Gilbert, 1995; Gilbert, Pelham, & Krull, 1988). Model ini, melibatkan satu fase identifikasi dan dua fase atribusi.

Fase identifikasi menyatakan, “sebelum kita dapat bertanya mengapa seseorang berperilaku dalam cara tertentu, kita pertama harus mengetahui apa yang sedang dilakukannya” (Gilbert, 1995, p. 117). Sekali individu telah menentukan apa yang sedang dilakukan seseorang, mereka bergerak ke fase atribusi yang melibatkan pembentukan atribusi internal karena atribusi ini terjadi secara otomatis. Langkah kedua, membentuk atribusi eksternal, cenderung membutuhkan usaha yang lebih berat.

Teori ini memprediksikan bahwa seseorang akan membentuk atribusi eksternal ketika:

  1. Mereka mempunyai informasi yang bagus mengenai situasi yang sedang terjadi
  2. Perhatian mereka tidak tertuju pada masalah / tugas lain

Kelihatannya, kedua faktor tersebut mungkin relevan untuk populasi yang berbeda. Spektator, ketika mengamati sebuah event olahraga, cenderung untuk memfokuskan perhatian pada penguasaan bola atlet daripada keadaan di sekitar orang tersebut. Sebagai hasilnya, mereka cenderung mempercayai bahwa atletlah yang bertanggung jawab terhadap perilakunya. Di tangan lain, usaha yang diperlukan untuk membentuk atribusi internal dan eksternal bisa jadi paling relevan untuk atribusi yang dibentuk oleh atlet dan pelatih. Logikanya adalah, ketika kompetisi, atlet dan pelatih harus mencurahkan semua kapasitas perhatian dan usaha pada kompetisi. Sebagai hasilnya, mereka tidak mempunyai waktu dan energi untuk membentuk atribusi eksternal.

The Self-Serving Bias

Self-serving bias adalah pola atribusi yang berfokus pada diri, di mana individu menggunakan faktor eksternal ketika mengalami kekalahan & menggunakan faktor internal saat mereka mengalami keberhasilan.

Contohnya saat seorang petenis berhasil mengalahkan seorang lawan yang berat atau berbakat, petenis tersebut akan mengatakan bahwa kemampuannya-lah yang membuat dirinya berhasil mengalahkan lawannya. Namun, sebaliknya saat petenis tersebut mengalami kekalahan, maka dia akan mengatakan bahwa faktor cuaca atau faktor lawan dll yang menyebabkan kekalahannya itu.

Self-serving bias terdiri dari dua bagian:

· Strategi peningkatan ego dengan menggunakan atribusi internal sebagai penyebab keberhasilan

· Strategi perlindungan ego dengan cara menggunakan penyebab – penyebab eksternal yang bertanggung jawab atas kekalahannya

Terdapat 2 alasan munculnya self-serving bias :

o Menurut Myers (1993), self-serving bias dapat muncul atas keinginan untuk membuat diri seseorang tampak lebih baik. Hal ini seperti menjelaskan bahwa perdebatan mengenai self-serving bias, bahwa terdapat alasan yang memotivasi di balik kesalahan. Secara spesifik, dipercaya bahwa tiap-tiap individu terdorong untuk mempertahankan citra diri positif, dan salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan self-serving bias.

o Self-serving bias muncul berdasarkan tingkat kognitif seseorang. Penjelasan ini seringkali mengarah pada pendekatan pemrosesan informasi (Myers, 1993). Pernyataan bahwa self-serving bias adalah produk sederhana dari bagaimana kognisi seseorang menerima dunia mereka.

Para pendukung dari pendekatan pemrosesan informasi tidak percaya bahwa orang secara sadar terdorong untuk menggunakan self-serving bias untuk mempertahankan citra diri positif mereka. Sebaliknya, mereka merasa bahwa orang secara alami melihat diri mereka masing-masing dari segi positif dan oleh karena itu secara alami proses informasi mengenai perilaku mereka secara positif bias dengan sikap mereka. Karena penelitian telah didukung oleh pendekatan pemrosesan motivasi dan informasi pada self-serving bias, maka kedua sudut pandang terlihat memiliki manfaat.

Beberapa studi telah menguji self-serving bias dalam bidang atletik. Secara umum, riset ini telah menemukan bahwa para pemenang lebih memiliki kemungkinan membentuk atribusi internal daripada para atlet yang kalah. Lebih jauh lagi, dalam penelitian terhadap atlet tenis meja, McAuley dan Gross (1983) menemukan bahwa bentuk atribusi para pemenang lebih ke arah internal, stabil, dan terkontrol dibandingkan para atlet yang kalah. Pada atlet squash, juga ditemukan bahwa para pemenang memiliki atribusi yang lebih terkontrol dan stabil dari pada para atlet yang kalah. Bagaimanapun dalam riset ini para pemenang ataupun pecundang tidak dibedakan berdasarkan locus of causality dimension. Selain itu ditemukan pula bahwa para pemain tim hoki papan bawah juga mampu untuk mempertahankan identitas diri positif dengan menghubungkan antara ketidaksuksesan mereka dengan permainan kotor tim lawan. Akhirnya penelitian dilakukan dengan menggunakan atlet-atlet muda, dan ditemukan bahwa anak dengan harga diri tinggi cenderung membentuk atribusi yang internal dan stabil.

Untuk membantu menjelaskan mengapa sejumlah studi olahraga mengalami kegagalan u/ menemukan self-serving bias, disarankan agar dibuat suatu norma yang unik untuk digunakan dalam beberapa susunan olahraga. Norma ini disebut dengan sport outcome responsibility norm, yang akan memacu para atlet untuk menerima tanggung jawab untuk tindakan dan hasil mereka. Sebagai hasil dari norma ini, para atlet merasa terpaksa untuk menginternalisasi kegagalan mereka sama dengan keberhasilan mereka. Kemudian, dampak dari self-serving bias bisa berkurang dan bahkan hilang sama sekali. Berdasarkan alasan ini, beberapa studi telah menemukan bahwa para atlet membentuk atribusi internal tingkat tinggi, tanpa memperhatikan apakah mereka berhasil atapun tidak.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa self-serving bias adalah nyata dan merupakan sebuah fenomena aktif dalam dunia olahraga, walaupun besarnya fenomena ini bisa saja lebih kecil dibandingkan yang sebenarnya dipercaya. Lebih jauh lagi, kemungkinan sport outcome responsibility norm setidaknya berpengaruh kepada pengurangan dari dampak self-serving bias dalam atletik.

Atributional Differences Based on Sport Type

Penelitian yang dilakukan oleh Tenenbaum & Furst (1985), mengindikasikan bahwa terdapat kemungkinan perbedaan atribusi berdasarkan jenis olahraga. Mereka menemukan bahwa para atlet yang bermain dalam olahraga yang bersifat individu, lebih memiliki atribusi internal dibandingkan mereka yang bermain dalam olahraga tim. Tampaknya, hal ini disebabkan atlet olahraga individual semata-mata bertanggung jawab atas performa mereka sendiri, maka mereka kurang memperhatikan tekanan dari luar memiliki dampak pada perilaku mereka.

Leith dan Prapavessis (1989) mencoba untuk membandingkan atribusi atlet yang terlibat dalam olahraga subjektif dan olahraga objektif.

· Olahraga subyektif, adalah olahraga di mana hasil akhir didasarkan evaluasi subyektif, dan penilaian diberikan oleh lebih dari 1 juri.

Contoh: olahraga menyelam, gymnastic.

· Olahraga obyektif, adalah olahraga di mana hasil akhirnya ditentukan oleh unit-unit yang terukur dan kompetisi langsung.

Contoh: bowling.

Dari hasil penelitian ini, yang mengejutkan adalah tidak ada perbedaan yang signifikan antara atlet yang terlibat dalam olahraga subjektif dan objektif.

Gender, Age and Race Differences in Sport Attributions

Gender Differences in Attributional Processes

Beberapa peneliti telah membandingkan atribusi yang ditunjukkan oleh atlet pria dan wanita. Pada pemikiran pertama pada topik, beberapa peneliti berpikir bahwa para wanita dan atlet wanita cenderung tidak melakukan self serving bias daripada para pria dan atlet pria (Deaux, 1934; Lenny, 1977; McHugh, Duquin, & Frieze, 1978). Pengarang tersebut mengatakan bahwa, karena sukses di dalam olahraga melanggar stereotipe peran jenis kelamin, ketika para wanita sukses dalam olahraga mereka cenderung membentuk atribusi eksternal, dan ketika para wanita gagal, mereka akan melakukan atribusi internal. Beberapa studi mendukung dugaan bahwa para atlet wanita lebih jarang melakukan self-serving bias daripada para pria. Bagaimanapun, sebuah persamaan bila tidak ada sebuah studi yang lebih besar, tidak akan menemukan perbedaan antara atribusi dari atlet pria dan wanita. Pada kenyataannya, sejumlah besar studi gagal mengindikasikan perbedaan jenis kelamin dalam olah raga.

Untuk menjelaskan kurangnya bukti mengenai perbedaan atribusi antara atlet pria dan wanita, akan lebih membantu bila kita melihat ulang diskusi mengenai ketakutan akan sukses. Dalam bagian personality, kita menyatakan bahwa atlet wanita venderung tidak mengalami ketakutan akan sukses karena sukses yang didapat cenderung konsisten dengan peran mereka yang diperoleh melalui partisipasi atletik. Fenomena yang sama, mungkin terjadi dengan bentuk atribusi dari para atlet wanita. Daripada menunjukkan hal yang negatif, pola yang tidak bias, para atlet wanita menunjukkan sebuah pola yang sama dengan para atlet pria karena para atlet wanita tidak mempercayai bahwa kesuksesan atletik melanggar peran gender mereka.

Age Differences in Attributional Processes

Ketika beberapa peneliti memfokuskan perhatian mereka pada perbedaan usia dalam atribusi, penelitian menjelaskan bahwa topik ini telah menjadi cukup langka (Biddle, 1993; Rejeski & Brawley, 1983). Pada kenyataannya, kurangnya penelitian pada topik ini membuat seseorang menjadi tidak bersemangat untuk menarik gambaran umum/ kesimpulan mengenai hubungan antara usia dengan atribusi olahraga.

Studi yang paling lengkap pada hubungan antara proses atribusi dalam olahraga telah dibuat oleh Bird dan Williams (1980). Peneliti tersebut menjelaskan atribusi dari 192 anak laki – laki dan 192 anak perempuan dari empat kelompok usia (7-9, 10-12, 13-15, dan 16-18 tahun). Subjek diminta untuk membaca sebuah cerita yang berhubungan dengan olahraga. Pada beberapa cerita, karakternya adalah laki – laki, dan pada cerita lainnya adalah perempuan. Selanjutnya pada beberapa cerita, karakter yang menjadi tokoh utama mendapatkan sukses di perjuangan atletik, pada cerita yang lain, tokoh utama mengalami kegagalan. Setelah membaca ceritanya, subjek diminta untuk menyatakan tingkat kepercayaan mereka mengenai hasil berdasarkan kemampuan, kerja keras, tingkat kesulitan tugas, dan keberuntungan. Bird dan Williams menemukan bahwa tiga kelompok usia termuda tidak membuat atribusi yang berbeda berdasarkan jenis kelamin dari tokoh utama. Bagaimanapun, perbedaan gender timbul di kelompok usia tertua (16-18 tahun). Subjek pada kelompok usia tersebut mencatat bahwa kesuksesan pada laki – laki adalah karena perjuangan, sedangkan sukses pada perempuan adalah karena keberuntungan. Hal itu menjelaskan bahwa studi ini menilai atribusi anak – anak langsung kepada orang lain, sedangkan atribusi anak – anak terhadap diri mereka sendiri tidak diukur.

Pada studi yang lain, menyatakan bahwa perbedaan usia pada atribusi olahraga, White (1993) menilai kausalitas, kestabilan, dan dimensi kemampuan mengontrol untuk atribusi dari pemain softball anak – anak dan remaja. Subjek diminta untuk melengkapi CDS setelah permainan pertama dari turnamen (semua pemain memenangkan permainan). Dua kelompok usia tidak mengalami perbedaan dalam kausalitas dan dimensi control (controllability dimensions). Bagaimanapun, pemain yang lebih muda cenderung membentuk atribusi yang stabil.

Race and The Attributional Process

Pada bagian ini, daripada membahas tentang atribusi terhadap diri sendiri berdasarkan perbedaan ras, kita akan membahas bentuk atribusi langsung kepada orang lain untuk menjelaskan perilaku dari atlit kulit putih dan kulit hitam. Salah satu studi yang paling informatif dalam area ini dibuat oleh Murrell dan Curtis (1994). Peneliti tersebut membahas liputan majalah mengenai enam quarterback profesional, tiga berkulit hitam dan tiga berkulit putih. Tiga pemain berkulit hitam dipilih karena hanya mereka yang telah menjadi quarterback selama tiga tahun pemeriksaan. Quarterback kulit putih dipilih karena tingkat penampilan mereka serupa dengan pemain kulit hitam. Lima majalah mengandung 38 artikel mengenai satu atau lebih quarterback. Majalah – majalah tersebut mengandung lebih dari 250 penjelasan mengenai perilaku quarterback. Penjelasan perilaku ditandai berdasarkan tingkat dimensi kausalitas, stabilitas, dan kemampuan mengontrol(controllability dimensions). Ditemukan bahwa dimensi kausalitas dari atribusi penulis tidak dibedakan oleh ras. Secara umum, atribusi internal terjadi pada kedua pemain, kulit putih maupun kulit hitam. Penampilan quarterback kulit putih kurang stabil namun lebih terkontrol daripada atlit kulit hitam. Dengan demikian, atribusi perilaku atlit kulit putih adalah internal, tidak stabil, dan terkontrol, mengindikasikan bahwa penampilan mereka adalah hasil dari kemampuan alami.

Hasil dari penelitian Murrell dan Curtis (1994) mengggarisbawahi perbedaan atribusi digunakan untuk menjelaskan kesuksesan atlit kulit hitam. Beberapa orang percaya bahwa kesuksesan pemain olahraga Afrika – Amerika berdasarkan pada kemampuan alami tingkat tinggi mereka. Atau dengan kata lain, pemain kulit putih menjadi sukses karena kerja keras, kerajinan dan inteligensi mereka.

Dengan demikian, nampak bahwa kesuksesan dari atlit kulit putih dirasa sebagai fungsi perjuangan, sedangkan kesuksesan atlit kulit hitam ditunjukkan sebagai hasil dari kemampuan alami. Bentuk atribusi ini dapat membawa pada evaluasi yang tidak adil mengenai penampilan. Penelitian yang sebelumnya telah mengindikasikan bahwa masing – masing pribadi lebih tidak tertekan ketika mereka melihat kesuksesan seseorang karena perjuangan daripada ketika mereka mempercayai bahwa sukses adalah berdasarkan kemampuan (Baron & Greenberg, 1990; Mitchell, Green, & Wood, 1982).

Hello world!

Posted in Welcome ^^ on August 24, 2008 by sl1m1987

Hiiii…..

Nice to see you all ^^ Enjoy yourself here..